6

177 44 0
                                    

Happy reading!!!

"Jujur aja dah, lagi males gerak."

"Ah, gak seru," ucap Theo kecewa.

Karena kemarin kami tidak jadi bermain truth or dare, Julian memaksa kami untuk bermain di sekolah. Tapi Miya menolak dengan tegas, dia mau belajar. Setelah lumayan lama beradu mulut dengan Julian, cowok itu mengalah juga. Aku juga menolak, sedang tidak mood. Julian tidak memaksa, malah meminta maaf kalau nanti—yang bermain truth or dare—ribut membuatku terganggu.

Sebagai gantinya, Julian mengajak dua orang temannya. Sama-sama anak kelas, hanya saja aku tidak dekat. Gilang dan Gavin. Kedua cowok itu dengan semangat 45 langsung mengambil tempat duduk tepat di depan aku dan Theo.

Theo? Jelas ikut bermain, dia yang paling semangat malah. Kini keempatnya sudah mengambil posisi masing-masing. Gavin duduk di depanku, di sampingnya adalah Gilang. Dan Julian menarik satu kursi lagi—entah milik siapa—dan duduk di antara Gilang dan Theo.

Di tengah meja sudah ada botol yang berisi seperempat air. Julian menyuruhku untuk memutarkannya. Katanya sebagai pembuka permainan. Padahal alasannya karena takut botol itu akan mengarah padanya. Aku mengiyakan saja, mulai memutarkan botol tersebut yang kemudian berhenti pada Julian. Kami semua tertawa. Senjata makan tuan.

Mungkin ada sekitar tiga putaran, Julian kena lagi. Ia memilih jujur, karena kalau tantangan, ketiga orang lainnya yang bermain a.k.a Theo, Gilang, dan Gavin akan memberikan tantangan yang tidak masuk akal.

"Ah, gak seru."

"Siapa suruh buat dare-nya brutal amat? Males lah gue," bela Julian.

"Halah, cupu. Bilang aja lo takut," cerca Gilang.

Julian berdecak kesal, "yaudah iya, serah lo anggap gue apa. Mau nanya apa cepat, gue bakal jujur sejujur-jujurnya."

Ketiganya berpikir cukup lama. Masalahnya Julian ini orang yang banyak omong dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Seperti tidak ada rahasia. Aku juga berpikir, apa yang mau ku ketahui tentang Julian. Hitung-hitung membantu mereka bertiga memikirkan pertanyaan.

Gavin mengangkat tangan, tanda siap bertanya. "Dua hari yang lalu gue liat lo pergi berdua sama cewek ke dekat gedung olahraga. Itu siapa dan kenapa?" Pertanyaan dari Gavin sontak membuat Theo dan Gilang melotot kaget. Sejak kapan Julian yang kerjaannya mabar di kelas, jarang dekat dengan perempuan selain anak kelas, tiba-tiba saja pergi dengan perempuan entah siapa itu?

Sebelum menjawab Julian menghela napas. "Gue tau mulut lo pada kayak ember bocor, tapi plis jangan kasi tau siapa-siapa. Kasihan anaknya."

"Iya, iya, terus siapa?" desak Gavin.

"Dia minta gue jadi pacar pura-pura dia. Supaya gak jadi bulan-bulanan tantenya."

"Terus dia itu siapa? Dari belakang sih gue lihat kayak Wilona. Ah, masa Wilona," tawa Gavin.

"Hahaha, masa Wilona. Primadona angkatan kita," sahut Theo.

Gilang mendorong bahu Julian sambil tertawa mengejek. "Kalopun iya, Wilona bisa milih gue atau Gavin. Atau orang yang lebih cakep lagi. Masa milih si Ijul?" Dan Gilang tertawa semakin keras.

"Jahat lo pada. Emang kenyataannya Wilona milih gue."

Ketiganya berhenti tertawa. "Ah, ngelawak lo. April mop masih lama kali," ucap Theo.

Julian mendengus. "Siapa yang ngelawak? Emang iya kok. Jangan bocor lo pada! Ini anaknya yang minta. Dan jangan nanya orangnya langsung! Nanti gue dibilang gak amanah lagi."

(end) imperfect - Taerae Where stories live. Discover now