22

124 32 2
                                    

Happy Reading

"Ternyata masa SMA kita seseru itu," sahut Theo.

Posisi kami sekarang sedang duduk menghadap pemandangan langit malam yang cerah. Bulan bersinar penuh. Sedang purnama. Awan juga tidak nampak. Digantikan dengan taburan bintang. Malam yang indah.

"Iya. Aku gak nyangka. Soalnya gak ada yang aku ingat lagi. Baru ingat pas nonton tadi." Theo berbalik menghadapku. Tatapan bingung.

"Benaran gak ingat semuanya?" tanyanya tidak yakin. Aku mengangguk.

Hening. Tidak ada yang berbicara lagi setelahnya. Aku fokus melihat indahnya langit malam. Theo entah kenapa. Daritadi ia celingukan, seperti mencari sesuatu. Tak lama setelahnya ia bangkit berdiri. Menyeret tiang infusnya dan membuka lemari.

"Nyari apa sih?" tanyaku karena merasa terganggu oleh grasak-grusuk nya.

"Gitar," jawab Theo singkat.

Gitar? Memangnya ada gitar di sini? Lagian untuk apa Theo mencari gitar? Mau memainkannya? Memangnya bisa? Tangannya kan diinfus sebelah, mana dibungkus perban pula.

Pintu diketuk tak lama kemudian. Tanpa menunggu jawaban dari yang di dalam, pintu terbuka menampilkan Mama dan mama Theo. Disusul Dokter Haidar dan di belakangnya ada Papa dan ayah Theo. Kelimanya rusuh masuk. Seperti teman sekelas kami tadi.

"Kok duduk di lantai, Nak?" tanya Mama dan segera menghampiriku.

"Mau lihat langit aja."

"Nyari apa sih, Bang?" tanya ayah Theo. Dan Dijawab singkat juga seperti padaku tadi.

Theo sibuk mencari ke sudut ruangan. Menghiraukan panggilan ayahnya yang terus memanggil. Telinganya seakan ditutup rapat-rapat tidak mau dengar. Ayah Theo menghela napas, menarik bahu anaknya pelan. Membuat Theo berbalik menghadapnya. "Nih. Mau ngapain kamu dengan gitarnya?"

Wajah Theo langsung sumringah. Cepat ia merampas gitar tersebut dari tangan ayahnya. Kemudian menghampiriku dan langsung duduk bersila di lantai. Ayah Theo hanya geleng-geleng saja.

"Mau lagu apa?" tanya Theo padaku. Aku memiringkan kepala. Bingung.

"Memangnya bisa? Tangan kamu diperban gitu?" kataku tidak yakin.

"Bisalah. Lagian yang diperban tangan kanan, buat yang genjreng. Yang kiri kan gak diperban." Aku diam. Memperhatikan gitar juga tangan Theo. Baiklah, kalah Theo bilang bisa. Aku mengangguk saja.

Theo kemudian menatap ayahnya. Seperti sedang bertelepati. Lanjut, ia menatap Dokter Haidar. Entah percakapan apa yang terjadi lewat mata mereka. Setelahnya ayah Theo dan Dokter Haidar mengajak keluar semua orang dan akan kembali 10 menit lagi.

Begitu semua orang keluar, Theo berdiri. Berjalan ke arah nakas yang ada di samping ranjangnya. Mengambil sesuatu. Tapi aku tidak tahu apa itu karena terhalang badan Theo. Setelah mengambil dan memasukkannya ke dalam saku baju, Theo menghampiriku dengan senyum lebarnya.

"Kenapa, sih? Kok senyum-senyum?" tanyaku heran.

"Gak boleh memang? Udah, udah, mau lagu apa Tuan Putri?" Theo terkekeh. Menatapku lekat dengan senyum manisnya. Aku yang ditatap begitu salah tingkah. Cepat memalingkan muka.

"Apa... Aja deh. Terserah," ucapku gagap. Masih tidak mau menatap Theo balik. Yang aku dengar hanya kekehan nya.

Beberapa detik kemudian suara gitar terdengar. Perlahan kepalaku berpaling. Menghadap Theo yang sedang bermain gitar. Cowok itu fokus dengan gitarnya. Tak luput senyum tipis dan lesung pipi diwajahnya. Tanpa sadar aku itu tersenyum melihatnya. Senyum yang selalu menenangkan.

(end) imperfect - Taerae Where stories live. Discover now