365 Hari | 3

1.3K 145 10
                                    

"Bu Kallana?"

"Ya?" Kallana menoleh. Langkah lebarnya terhenti, membuat wanita yang dia ketahui sebagai sesama pengajar sepertinya pun melangkah ke arahnya.

Ada senyum lebar yang entah mengapa tidak Kallana sukai di wajah itu. Apalagi tatapan mata itu yang seakan menatapnya tak biasa.

"Saya tidak tahu jika anda masih memiliki muka untuk datang ke sini."

"Apa?"

Sebuah layar ponsel mengarah ke arahnya, tepat di depan wajahnya. Membuat Kallana bisa melihat ada sebuah video yang di putar di sana. Dan itu,.. adalah sebuah potongan video dirinya.

"Selamat, anda menjadi perbincangan hangat pagi ini."

Itu bukan pujian, dan Kallana tahu jika dia dalam masalah kali ini.

"Apa anda tahu jika semua sosial media sekolah meliput anda?"

Mengabaikan begitu saja ucapan wanita yang dia ketahui bernama Bu Angel. Guru yang selalu berhasil membuatnya merasa marah, Kallana pergi begitu saja. Melangkah lebar dan mengabaikan panggilan wanita itu.

"Bu Kallana?" Sekali lagi, langkah Kallana terhenti.

"Bisa tolong ikut ke ruangan saya sebentar?"

Kallana hanya bisa mengangguk samar menjawab pertanyaan kepala sekolah di depannya itu. Seakan benar-benar tak memiliki pilihan lain, ia mengekori kepala sekolah yang melangkah menuju ruangannya. Dan tanpa ia bertanya sekalipun, ia sudah tahu alasannya.

"Mungkin anda sudah tahu kenapa saya memanggil anda untuk datang ke ruangan saya ini."

Ada remasan kuat yang Kallana berikan pada kedua tangannya yang bertautan di atas pangkuannya.

"Jujur, saya cukup kecewa dengan apa yang beredar di sosial media sekolah kita ini."

"Maaf, pak, saya bisa jelaskan tentang video itu. Jika video itu sebenarnya-"

"Anda adalah seorang wanita berpendidikan, pengajar sekaligus seseorang yang seharusnya memberikan contoh yang baik bagi murid-murid kita. Tapi, apa ini? Bagaimana mungkin anda bisa memberikan contoh yang tidak masuk akal seperti ini."

Kallana menggeleng. "Pak, saya-" ucapan Kallana terhenti begitu pria tua di depannya mengangkat sebelah tangannya tinggi. Memberi isyarat kepada Kallana untuk diam.

"Dengan berat hati, saya harus menskors anda untuk sementara waktu. Sampai saya membicarakan lebih lanjut masalah anda ini dengan bapak komisaris. Apakah kesalahan anda ini bisa ditolerir atau sebaliknya."

Kallana merasa sekali lagi dunianya hancur. Kacau balau, berantakan tanpa tahu dia harus melakukan apa.

****

Di sebuah ruangan bernuansa serba putih. Seorang pria menatap layar ponselnya yang mati, menatapnya lama tanpa tertarik untuk memeriksanya.

"Kak?"

Wajahnya yang awalnya menunduk, menatap layar ponselnya kini terangkat.

"Apa aku perlu menghubungi kak Vi? Mengabari kalau kakak masuk rumah sakit? Dia sedari kemarin belum datang menjenguk, kan?"

"Gak perlu." Ujarnya bersamaan dengan gelengan kepala pelan. Kembali menatap layar ponselnya yang kini mati.

"Kenapa, bukankah malam ini kakak punya janji untuk melamarnya?"

Elemen diam, dia hanya menatap layar ponselnya yang mati.

"Kak!"

"Kami sudah putus."

"Apa?"

Elemen, pria yang sedari tadi menatap layar ponselnya pun mendesah. Melemparkan begitu saja ponselnya di dekat kakinya tanpa minat dan menatap adik satu-satunya itu lurus.

"Lamaranku ditolak."

Hening. Lama suasana berubah hening. Seakan semua orang di sana berusaha mencerna segalanya.

Satria bahkan tercengang mendengar penjelasan kakaknya. Semua itu membuat Elemen pun menatap adik semata wayangnya lurus.

Ada kekeh samar yang Elemen keluarkan begitu menemukan wajah syok adiknya. Juga tatapan tak percaya pria itu.

Kadang saat dia mengingat lagi, dia bahkan tidak percaya jika hubungan yang ia bangun selama ini akan hancur hanya karna sebuah karier-yang lagi-lagi tidak lebih penting dengan apa yang akan Elemen berikan pada wanita itu. Padahal, Elemen bahkan bisa memberikan lebih banyak dari yang wanita itu bayangkan jika hanya untuk sebuah karier.

"Cih, kakak kira aku akan percaya? Jangan membohongiku, kak. Aku tahu-"

"Dia belum berniat menikah dalam waktu dekat. Dia masih mencintai kariernya. Lagipula, kariernya lebih penting dari apa pun." Termasuk hubungan mereka selama ini.

Seolah masih tak percaya, Satria menatap kakaknya serius. "Kalian benar-benar putus?" Dia kembali memastikan.

Elemen hanya bergumam, kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar rawat inapnya. Pandangannya menerawang jauh. Seakan kembali mengingat percakapan mereka malam itu. Yang benar-benar berhasil membuat segala perasaan Eleman hancur berantakan.

Ia seakan kalah. Karna nyatanya, selama ini yang memiliki mimpi untuk bersama hanya dirinya. Hanya Eleman sendiri.

"Maaf, El, aku tidak bisa."

Jawaban malam itu masih jelas membekas di ingatannya. Bagaimana wanita yang selama lima tahun lamanya dia cintai, dia puja setengah mati, mengabaikan begitu saja sodoran cincin darinya. Ajakan serius darinya untuk mewujudkan semua mimpi yang pernah mereka bangun.

"Karierku sedang berada di puncak karier saat ini. Semua orang pasti ingin berada di tempatku sekarang. Dan aku tidak bisa meninggalkan karirku begitu saja dan memilihmu."

Seolah memilihnya sebagai pilihan adalah yang salah. Dan wanita itu memilih pencapaiannya. Yang bahkan, Elemen bisa memberikan lebih dari yang wanita itu dapatkan saat ini.

"Vio,..."

Ada gelengan tegas, juga langkah kaki yang bergerak mundur. Menjauh dengan kedua mata menatapnya tegas. Seakan menyakinkan jika wanita itu tidak main-main atas ucapannya saat ini. Penolakannya.

"Aku nggak bisa!"

Antara kalut dan takut. Elemen bangkit. "aku akan memberikan apa pun untukmu. Bahkan lebih dari karier yang saat ini-"

"Karier ini adalah hidupku, El. Ini adalah mimpiku. Butuh perjuangan dan pengorbanan untuk berada di sini. Ada rasa lelah untuk bisa mencapai titik ini."

Ada dengusan tak percaya. Juga kecewa yang berusaha ia tepis mati-matian. "Lalu aku?" Rahangnya terlihat mengerat. "hubungan kita? Apa semua ini gak ada artinya? Sudah bertahun-tahun aku menunggumu, Vi. Dan ini-"

"Kamu bahkan tahu jawaban atas pertanyaanmu itu, El."

"Nggak!" Gelengnya tegas. Bersamaan dengan langkah kakinya yang mendekat dengan tergesa. "Kasih tahu aku, Viona! Aku sama sekali gak ngerti dengan-"

"Aku memilih karierku! Masa depanku! Apa itu cukup?!"

Langkah Eleman terhenti. Ia mematung dengan wajah kaku. Seakan belum bisa mencerna segala yang wanita di depannya katakan. Yang wanita itu pilih.

"Karierku, masa depanku. Semuanya lebih penting dari pada hubungan kita ini." Tidak ada keraguan dari setiap ucapan wanita di depannya itu. Yang semua itu semakin membekukan seluruh tubuh Elemen.

Dia bahkan tak lagi bisa menggerakkan kakinya untuk mendekat, atau sekedar memutuskan tatapan mata mereka. Semua seakan membuatnya tampak bodoh saat ini.

"Maaf, El. Aku gak bisa." Ada gelengan tegas. Juga tatapan serius di sana. Dan Elemen hanya bisa membisu. "Aku gak bisa memilihmu dan mempertahankan hubungan ini. Dan aku rasa sudah saatnya kita berhenti di sini."

Kallana; Pernikahan 365 Hari (SELESAI)Where stories live. Discover now