356 Hari | 21

1.2K 148 8
                                    

Tidur lelap Kallana terusik begitu mendengar obrolan seseorang, berusaha membuka mataya yang masih terasa berat, Kallana langsung terduduk begitu melihat cahaya di sela-sela tirai yang sedikit terbuka karna terpaan angin. Bergerak-gerak gelisah dan tak beraturan.

Begitu menoleh ke sekeliling, wajahnya semakin tersentak, kedua matanya melotot begitu menemukan ada banyak orang di ruangan itu.

Merasakan sesuatu yang merosot-yang membungkus tubuhnya, ia pun menunduk, menemukan jaket seseorang yang tampak asing untuknya. Ia genggam erat-erat jaket itu, kembali menatap ke depan di mana beberapa orang tampak asik bercengkrama.

Ada Elemen yang duduk di sisi ranjang dengan tangan sibuk menyuapi bibinya dengan sesuatu, sedang ibu mertuanya duduk di kursi sisi ranjang. Mereka tampak asik berbicara tanpa sadar jika Kallana kini sudah bangun dari lelapnya.

Ada rasa tak nyaman saat sadar jika ia pasti tertidur cukup lama. Bahkan matahari sudah beranjak tinggi dan ia baru bangun. Tapi, kenapa tidak ada yang membangunkannya? Atau, bagaimana bisa Kallana tertidur lelap di saat seperti ini?

Merapikan ndandanannya, Kallana pun bangkit, hendak bergerak bangun tapi segalanya terhenti begitu mendengar teguran seseorang.

"Hei, sudah bangun?"

Kallana seperti tertangkap basah. Apalagi saat semua pasang mata menoleh ke arahnya.

"A-aku akan ke kamar mandi." Buru-buru Kallana meneruskan langkah kakinya, bergerak ke sebuah pintu dan menghilang di sana.

Setelahnya, Kallana hanya bisa bersandar di belakang pintu. Merutukki sikapnya yang tak biasa.

Beberapa menit kemudian, saat ia keluar dari kamar mandi. Dia hanya menemukan ibu mertuanya dan bibinya, Okta di ruangan itu. Tidak ada lagi pria yang tadi sempat menegurnya.

"Elemen turun ke bawah untuk membeli sarapan." Beritahu Sinta begitu Kallana mendekat.

Kallana hanya tersenyum dan mengangguk mengerti.

"Lana, kamu juga turunlah. Sarapan dulu, biar mama yang menjaga dek Okta selagi kalian sarapan."

"Tapi-"

"Mamamu benar, La. Pergilah sarapan dulu. Bibi baik-baik saja."

Kallana bahkan belum banyak bicara dengan bibinya, dan sekarang dia harus di usir untuk sarapan.

"Bibi yakin nggak papa aku tinggal? Lana bisa sarapan nanti kok, Bi. Lagipula Lana belum lapar."

"Hei, nggak baik menunda-nunda sarapan. Sana pergi susul El. Dia bilang tadi mau beli sarapan untuk kalian dan sarapan di sini. Lebih baik kalian sarapan di kantin dari pada di sini. Dan mama yang akan menjaga bibi mu. Sana cepat."

Kallana sudah akan menolak, kembali keukeh pada pendiriannya. Tapi tatapan bibinya, dan anggukan kepalanya membuat Kallana tahu jika ia tidak akan bisa menolak.

"Baiklah, selesai sarapan Lana akan langsung ke sini." Ujar Lana menyerah, yang langsung diangguki kepala oleh Sinta dan Okta.

"Kalau ada apa-apa tolong hubungi Lana ya, Ma." Pintanya sebelum benar-benar pergi dan dijawab Sinta dengan anggukan kepala tegas. Juga gumaman 'jangan khawatir' yang sedikit banyak membuat perasan Kallana merasa lebih baik.

****
Kallana keluar dari ruangan bibinya, berjalan melewati lorong-lorong panjang. Beberapa kali berbelok saat melewati persimpangan, sampai langkahnya terhenti begitu melihat punggung seseorang yang sangat ia hapal bentuk dan lebarnya.

Punggung seseorang yang ia yakini milik seseorang yang dulu sering meminjamkan pundaknya.

Saat seseorang itu masuk ke dalam lift, berbalik dan menghadap ke arahnya. Kallana bisa melihat dengan jelas wajah itu.

Kallana; Pernikahan 365 Hari (SELESAI)Where stories live. Discover now