365 Hari | 25

2.3K 157 5
                                    

"Minum?" Elemen mengangsurkan gelas yang berisi air putih-yang langsung diterima oleh Kallana tanpa kata.

Wanita itu menerima uluran gelas dari Elemen, tidak menegak isinya, ia hanya diam dan menatap gelas itu, menggenggamnya dengan kedua tanganya. Menatapnya lama.

"Aku nggak tahu gimana cara menghibur orang yang lagi sedih." Ujar Elemen berhasil menarik perhatian wanita yang sejak tadi tampak murung dan sedih itu.

Kallana mendongak, mengangkat pandanganya untuk menatap pria di depannya itu. Setelah itu mendengus kasar.

"Aku nggak sedih."

"Oke, kalau gitu aku nggak tahu gimana cara menghibur orang yang lagi nangis biar berhenti."

Kallana kembali menatap Elemen keberatan, tidak setuju dengan perumpamaan yang pria itu ambil. Apa dia harus berbicara seterus terang itu?

"Kamu tadi nangis, kan?"

"Tapi aku bukan anak kecil yang harus di hibur biar berhenti nangis." Wanita itu terlihat semakin tak terima-yang sejenak seakan melupakan sesuatu dalam perasaannya. Yang tadi sempat begitu sesak, begitu sakit dan menghimpit dadanya. Namun sekarang sedikit berkurang, sedikit reda dan sedikit lebih baik. Ia bahkan sudah bisa menatap Elemen kesal.

Dan Elemen tertawa melihat itu, ia mengangguk setuju. Lalu keadaan hening. Lama. Mereka diam dan tak ada yang mengeluarkan suara. Kallana bahkan kini mengangkat gelasnya, menyentuh pinggiran gelas dengan bibirnya, menegak isinya. Hanya beberapa tegak sebelum gelas itu kembali ia genggam.

"Ayo pergi." Ujar Elemen lagi, yang sedari tadi hanya diam dan menatap wajah itu. Memperhatikan wajah sembab itu, juga bagaimana mata itu yang masih tampak memerah sehabis menangis.

Kallana kembali mengangkat wajahnya.

"Aku tidak tahu bagaimana rasanya. Juga,... tidak akan mengerti sesakit apa saat hanya mendengar nama itu di sebut. Tapi,.. aku tidak mau kamu menyesal nanti."

Meraih sebelah tangan Kallana untuk ia genggam. "Setidaknya, ayo temui dia sekali, Kallana. Katakan padanya, jika kamu sudah baik-baik saja. Jauh lebih baik dan hidupmu jauh lebih bahagia tanpa dia di sampingmu."

*****
"Kalla, mama harus pergi. Mama sudah tidak sanggup lagi, mama sudah tidak bisa bertahan lebih lama lagi."

"Rasanya sakit sekali, Kalla. Mama sudah tidak bisa lagi bertahan. Tolong, biarkan mama pergi."

Dulu Kallana tidak tahu jika pergi yang diucapkan mamanya adalah ucapan selamat tinggal.

Ucapan perpisahan untuk tidak akan pernah kembali lagi.

Saat mamanya menangis, malam itu. Kallana hanya bisa ikut menangis tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kallana kira, malam itu sama seperti malam-malam sebelumnya. Malam yang melelahkan dan penuh mimpi buruk, tapi setelahnya akan ada pagi yang baik-baik saja. Akan ada mamanya yang kembali menyiapkan sarapan untuknya, mengingatkan banyak hal, juga hari-hari seperti biasa-meski akan ada tangis lagi, tangis lain untuk masalah lain, tapi mamanya masih akan bertahan, masih ada di sampingnya dan menemaninya. Namun nyatanya Kallana salah.

Setelah malam itu, malam yang penuh tangis di sepanjang malam. Diantara wajah kantuk dan air matanya, akan ada hari berbeda esok harinya. Di mana Kallana akan terbangun seorang diri, kebingungan dan ketakutan sendiri.

Mamanya pergi, ayahnya tidak tahu ada di mana dan entah kapan kembali. Dan Kallana hanya kebingungan memanggil mamanya-yang ternyata benar-benar pergi meninggalkannya dan tidak kembali lagi.

Setiap kali Kallana mengingat itu, ia akan merasa perasaannya memburuk. Ia tidak akan bisa baik-baik saja, dan merasa membenci banyak orang.

Dirinya yang terlalu menyedihkan hingga harus ditinggalkan seorang diri untuk kesekian kalinya. Ayahnya-yang mengapa harus menjadi seseorang yang tidak bisa menjaga rumahnya tetap utuh. Juga mamanya,... yang mengapa harus memilih kalah dan pergi. Kenapa harus pergi seorang diri tanpa membawanya ikut pergi?

Kallana; Pernikahan 365 Hari (SELESAI)Where stories live. Discover now