365 Hari | 39

555 85 4
                                    

Elemen menunduk, membiarkan kepalanya bersandar di atas stir kemudi. Berharap segala pusing, penat juga kalutnya akan berangsur-angsur hilang. Pergi. Meski sebenarnya tidak ada yang berubah.

Dia bahkan hanya berdiam diri di dalam mobilnya hampir dua jam. Mendesah berkali-kali juga mengusap wajahnya berulang-ulang.

Segala ucapan dokter yang menangani adiknya berputar. Memenuhi kepalanya juga membuat buntu pikirannya.

"Sekarang kita hanya bisa menunggu sebuah keajaiban." Dokter Andrean. Dokter yang selama ini menangani Satria bersuara setelah membiarkan keadaan hening.

"Dokter, saya yakin anda pasti memiliki kenalan di luar negeri, kan? Atau biarkan saya yang mencoba mencari rumah sakit terbaik yang bisa menangani adik saya."

"Kanker yang di derita oleh Satria sudah menyebar. Sudah sulit mengobatinya meski kita melakukan kemoterapi. Sebaik apa pun rumah sakit di luar sana, kita hanya bisa menunggu sebuah keajaiban."

Dunia Elemen terasa runtuh. Mendadak dia teringat bagaimana dia memukul adiknya malam itu, untuk sebuah permintaan yang entah mengapa sulit sekali ia kabulkan disaat dia kini bahkan tahu kondisi adiknya.

Dia masih ingin egois. Masih ingin tetap menggenggam erat tangan seseorang yang begitu ingin adiknya miliki. Dan sekarang, begitu mendengar semua penyakit adiknya. Elemen merasa begitu kejam dan jahat. Dia masih tidak ingin melepaskan genggaman tangannya pada tangan istrinya.

Angkuh sekali dia. Kejam sekali.

"Dok, saya akan melakukan apa pun. Jadi tolong. Tolong-" gelengan tegas pria tua di depannya menghentikan ucapan Elemen.

"Pasien sudah mencoba kemoterapi berkali-kali sejak beberapa tahun yang lalu. Tapi dia mendadak tidak ingin melakukan pengobatan apa pun hingga kondisinya memburuk seperti sekarang."

"Pasti ada cara lain, Dok. Tolong selamatkan adik saya." Elemen masih ingat bagaimana ibunya menangis dalam pelukannya. Mengadu padanya tentang kondisi adiknya.

Bagaimana mungkin mereka memiliki segalanya, uang, kekuasaan, nama baik. Tapi tak ada satu pun yang bisa menyelematkan adiknya.

"Mama tidak ingin kehilangan Satria, El. Mama takut kehilangan dia." Ucapan itu berkali-kali dilontarkan oleh ibunya. Berulang-ulang terucap hingga membuat Elemen hanya mampu terdiam dengan perasaan sesak.

"Sekarang ini, kita hanya bisa berdoa untuk kondisi pasien yang kian memburuk. Berharap jika akan ada keajaiban agar kondisinya berangsur-angsur membaik dan siuman. Lalu setelah itu, kita bisa melakukan beberapa terapi. Terapi ini memang tidak untuk mengobatinya, tapi kita bisa mencobanya agar kondisi pasien kian membaik. Dan saran saya, usahakan tetap membuat pasien dalam kondisi mood juga suasana hati yang baik."

"Kita harus membuat semangat pasien untuk sembuh kembali. Karna itulah satu-satunya cara agar pasien bisa bertahan lebih lama. Dan berharap tuhan akan menurunkan mukjizatnya."

Elemen mengusap wajahnya kasar. Untuk kesekian kalinya. Semua ucapan dokter tadi kembali berputar. Kembali membuatnya mengingat bagaimana adiknya yang selama ini terlihat baik-baik saja ternyata mengalami hal buruk. Dan hal buruk itu bisa dikatakan sebagai sekarat karna bahkan tidak ada kemungkinan untuk sembuh.

"Aku tahu ini terdengar gila. Tapi, aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku sangat mencintai dia dan ... "

"Aku benar-benar ingin bersamanya sekarang."

"Bukankah kakak pernah mengatakan jika aku menginginkan sesuatu, kakak akan memberikannya?" Elemen ingat, jika saat itu bahkan Satria menginginkan sesuatu darinya. Yang Elemen kira, jika adiknya itu menginginkan mobil miliknya. Karna selama ini, adiknya itu begitu menyukai mobil-mobil yang Elemen miliki.

Kallana; Pernikahan 365 Hari (SELESAI)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ