365 Hari | 9

1.1K 141 16
                                    

"Ayo, masuk." Ajak Elemen yang bukannya membuat Kallana mengikuti permintaan pria itu, Kallana malah mematung di tempatnya. Menatap sekeliling dengan pandangan sulit diartikan. Sampai tarikan lembut dari tangannya barulah Kallana tersadar. Segera menoleh dan menatap ke arah pria yang kini berjalan di depannya.

Ada senyum hangat yang pria itu lemparkan sekilas, sebelum ia kembali menghadap depan. Dan Kallana hanya bisa menatap kaku semua itu.

Ini adalah weekend, dan mereka sudah sepakat untuk membuat pengakuan pada keluarga atau kenalan terdekat. Semua itu di mulai dengan mengunjungi keluarga masing-masing. Mulai dari keluarga Elemen, lalu setelahnya keluarga Kallana. Itu pun jika semuanya berjalan lancar.

Satu minggu merencanakan segalanya, kini mereka benar-benar layaknya sepasang kekasih yang siap menikah.

Dua orang berbeda kelamin yang tanpa canggung atau kaku saling menunjukkan ketertarikannya. Meski hanya sebatas kepura-puraan, tapi Kallana akui jika semua terlihat natural. Meski ia sendiri tidak yakin jika segalanya akan berjalan lancar setelah pertemuan ini.

"Kenapa? Kamu merasa tidak nyaman?" Tanya Elemen diantara langkahnya. Karna sejak mereka masuk ke dalam rumah, ia bisa melihat jika wanita yang kini membalas genggaman tanganya tampak pucat. Ada keringat diantara pelipis wanita itu, belum lagi tangannya yang terasa dingin dan berkeringat, membuat Elemen tahu jika wanita itu pasti mengalami kegugupan.

Sebenarnya ia pun merasa begitu, apalagi kini ia akan memperkenalkan seorang wanita pada keluarganya. Wanita yang baru ia temui beberapa kali dalam kurun waktu satu bulan lebih.

"A-aku hanya gugup." Aku Kallana yang membuat Elemen menghentikan langkahnya, ia segera berbalik dan menatap wanita yang ikut menghentikan langkahnya, menatapnya bingung dengan kedua alis saling bertautan.

"Apa kita perlu batalkan saja?"

"Kenapa, kamu juga gugup?"

Elemen berdehem lalu mengangguk. "Tanganmu dingin." Ada remasan lembut yang Kallana terima setelahnya.

"Itu karna aku gugup." Ia ikut menatap tangannya yang kini berada dalam genggaman Elemen. Menatap bagaimana dua telapak tangan itu mengusap-usapnya. Yang terlihat berusaha mereda kegugupannya-yang sebenarnya tak membantu karna jika boleh jujur, ia bahkan takut dengan hasilnya.

Kallana takut jika pagi ini ia akan mendapatkan penolakan dari keluarga Elemen. Meski Elemen berkali-kali mengatakan, katakan saja sejujurnya, keluargaku akan mengerti dan mereka tidak akan keberatan. Tapi penolakan yang ia terima sebelum ini, dari pria yang memiliki latar keluarga yang sama dari pria di depannya benar-benar membuat Kallana takut.

"El?"

"Hmm?" Elemen mengangkat pandangannya. Menatap kedua mata coklat Kallana yang kini juga tengah menatap ke arahnya.

"Aku baik-baik saja."

"Kamu yakin?" Kallana mengangguk, membuat Elemen ikut mengangguk dan melepaskan genggaman tanganya.

"Kalau nanti ada yang buatmu tidak nyaman, kamu tahukan harus melakukan apa?"

"Hmm,"

"Orang tuaku tidak akan menolakmu, tapi kalau nanti ada pertanyaan yang benar-benar sensitif kamu bisa beritahu aku."

"Oke." Jawab Kallana-yang sebenarnya ia tidak yakin jika ia bisa benar-benar melakukan apa yang pria itu minta.

Langkah mereka berhenti begitu mereka tiba di ruangan yang Kallana yakini sebagai ruang tamu di rumah itu. Ruangan yang luas dengan sofa panjang dan besar melingkar, ada meja kaca bulat yang di tengah-tengahnya terdapat tanaman cantik.

"Tunggu di sini, aku akan memanggil orang tuaku dulu. Tidak masalah kan kalau kamu tinggal di sini dulu selagi aku memanggil mereka?"

Buru-buru Kallana menggeleng dan menjawab. "Nggak masalah."

"Kamu bisa duduk di mana pun yang kamu mau. Aku janji tidak akan lama." Ujar Elemen sebelum ia beranjak pergi. Tapi ada lemparan senyum lembut yang pria itu berikan sebelum ia benar-benar beranjak pergi. Seolah menyakinkan Kallana jika semua akan baik-baik saja.

Kallana menatap sekeliling, memperhatikan rumah mewah yang tampan indah itu. Melangkah ke arah salah satu sofa panjang, ia duduk di sana. Sengaja memilih sofa yang berada di dekat pintu masuk-yang menghadap langsung ke arah tangga. Juga ruangan yang di lewati Elemen tadi.

Kegugupannya kian menjadi-jadi begitu mendengar derap langkah tergesa dari anak tangga. Beranjak berdiri, Kallana menarik senyumnya untuk menyambut seseorang yang kini menuruni anak tangga melingkar itu.

"Kak-"

Senyum Kallana lenyap, begitupun wajah ramah yang pria yang menuruni anak tangga itu. Ia menatap Kallana syok bercampur tak percaya.

Masih dengan kedua mata bulatnya, ia melangkah mendekat. Terus mendekat hingga ia berdiri di depan Kallana yang kini kembali menarik sudut bibirnya.

Seperti tebakannya, yang Kallana yakini jika pria di depannya akan menatapnya marah begitu melihat keberadaannya.

"Ngapain kamu di sini?!" Geram Satria, pria yang kini sudah berdiri di depan Kallana, menatap nyalang dirinya yang hanya diam.

Menatap sekeliling, Satria segera meraih tangan Kallana. "Ikut aku!" Ujarnya, tapi baru dua langkah ia beranjak, Kallana segera menahan langkahnya. Berhenti melangkah hingga membuat Satria menoleh.

"Kallana!" Geramnya tertahan. Yang tak membuat Kallana ragu untuk melepaskan genggaman tangan pria itu.

"Kenapa aku harus ikut kamu?"

"Kallana," Tegur Satria setengah membentak, yang seketika membuat Kallana berjengkit terkejut. Pria itu segera berbalik menatap Kallana dengan wajah mengeras dan memerah padam. "Aku udah bilang kan kalau aku udah benar-benar muak sama kamu. Apa kamu nggak ngerti juga?! Hah?!"

Kallana menelan ludah, menoleh ke samping guna menatap ke arah Elemen pergi tadi.

"Kenapa, kamu kira dengan kamu ke sini kamu bisa merubah pandanganku terhadapmu?! Iya?!"

"Cih, jangan mimpi, Kallana! Aku sudah benar-benar muak denganmu. Meski kamu ke sini, berniat menemui keluargaku. Aku tidak akan mau kembali padamu. Jadi lebih baik kamu pergi! Keluar dari rumahku sebelum aku kehilangan kesabaran dan menggunakan kekerasan." Ancam Satria yang hanya dibalas Kallana dengan tubuh diam. Ia masih diam menatap pria di depannya yang wajah dan nafasnya berubah kasar.

Menatapnya marah dengan emosi yang tampak jelas membingkai wajahnya.

"Aku ke sini bukan untuk ketemu kamu."

Satria mendengus, tidak serta-merta percaya. Dengan cepat ia bahkan kembali menarik tangan Kallana untuk menarik tangan wanita itu agar ikut dengannya. "Aku tidak peduli kamu mau ketemu siapa di sini. Tapi selagi aku ada di rumah ini, aku tidak akan mengijinkanmu untuk-"

"Kalian saling kenal?"

Langkah Satria terhenti begitu pun Kallana yang berusaha menarik tangannya yang berada dalam genggaman pria di depannya itu.

Hening.

Suasana berubah hening begitu Elemen menatap Satria dan Kallana secara bergantian.

Menoleh sedikit ke arah Satria yang berdiri di belakangnya. Yang terlihat kehilangan kata-kata, secepat kilat Kallana melangkah ke arah Elemen. Membuat Satria membuka mulut, hendak menyela namun tak ada sepatah katapun yang keluar.

Sampai saat Kallana memeluk lengan kakaknya, mendongak dan tersenyum kikkuk barulah Satria merasa ada yang salah di sini.

"Aku-"

"Nggak!" Sela Satria cepat, menghentikan ucapan Kallana seketika. "Kami tidak saling kenal." Tambahnya, yang membuat Elemen menunduk, menatap Kallana yang masih menatap ke arahnya. Senyum di wajah itu masih ada, sama sekali tidak hilang.

Elemen masih menatap Kallana dan bertanya. "Oh, ya? Tapi-"

"Kakak kenal dia?" Balik tanya Satria. Sama sekali tak memindahkan pandangannya pada tangan kakaknya dan Kallana yang saling bertautan.

Elemen menolah ke arah adiknya, sebelum dia menjawab dia raih tangan Kallana untuk ia genggam. "Dia calon istri kakak."

"Apa?!"

Kallana; Pernikahan 365 Hari (SELESAI)Where stories live. Discover now