365 Hari | 5

1.3K 144 9
                                    

Kallana menatap kartu nama di depannya lurus. Duduk di depan meja riasnya, dengan pandangan hanya berfokus pada selembar kertas kecil. Yang diberikan Elemen padanya, membuat Kallana hanya bisa menatapnya lurus.

"Saya tidak punya alasan untuk berteman dengan anda?!" Kallana benar-benar melepaskan genggaman tangan pria yang menahan sikunya. Bergerak mundur dan melangkah menjauh.

"Setidaknya, jika kamu tidak ingin meminta bantuan saya, saya ingin kita menjadi teman." Elemen berdehem. "Saya benar-benar tidak ingin memiliki hutang budi dengan siapa pun."

"Jika begitu anggap saja saya tidak pernah menolong anda."

"Apa kamu pernah merasa hampir kehilangan sesuatu yang berharga tapi Tuhan memberikan kesempatan kedua?" Langkah Kallana yang sudah berbalik, hendak menjauh pun urung. Kepalanya menoleh ke belakang, di mana Elemen menatapnya lurus.

"Kehidupan ini." Dia menatap wajah sayu itu lurus. "Saya benar-benar merasa mendapatkan kesempatan kedua,.. setelah apa yang saya alami malam itu."

Kesempatan kedua?

Ulang Kallana dalam hati. Menatap tulisan nama 'Elemen Bima Sanjaya' yang baru ia sadari jika pria itu benar-benar tidak asing untuknya.

"Kesempatan kedua? Kenapa anda merasa mendapatkan kesempatan kedua? Bukankan kecelakaan itu tidak separah itu?" Tanya Kallana begitu mereka kembali duduk di kursinya. Duduk saling berhadap-hadapan.

Elemen tersenyum kikkuk, tampak canggung dan salah tingkah. Seolah paham dengan ekspresi tidak nyaman pria di depannya, Kallana kembali berujar.

"Lupakan. Jika anda merasa tidak ingin-"

"Ini mungkin kedengarannya konyol." Sambar Elemen cepat. "Tapi saya akan menceritakannya jika kamu juga mau menceritakan tentang masalahmu yang tidak lagi bisa mengajar."

Kallana memalingkan wajahnya dan mendengus.

"Kenapa? Bukankah itu adil?"

"Lupakan, saya tidak tertarik untuk-"

"Apa kamu selalu begini?" Mengedikkan dagunya. "atau karna sikapmu ini hingga sekolah memberhentikanmu mengajar?"

Wajah Kallana yang awalnya kaku kian berubah kaku dan datar. Namun jelas sorot matanya tampak tertegun. Layaknya ada sesuatu yang menusuk hatinya.

Seolah tersadar jika ia sudah melewati batas. Elemen kembali berdehem pelan. "Maaf, saya tidak bermaksud-"

"Saya diskors bukan karna sifat saya. Tapi karna kehidupan saya yang menurut orang terlalu berlebihan dan berantakan." Kallana tidak tahu kenapa ia harus mengatakan itu. Tapi, begitu pria di depannya mengatakan sesuatu-yang seakan mengingatkannya pada seseorang. Membuat ia mulai bertanya.

Apa ia memang se-membosankan itu? Apa ia memang pantas untuk ditinggalkan terus-menerus? Tidak pantas dicintai dan memiliki masa depan yang lebih baik?

"Di besarkan dalam keluarga broken home yang benar-benar berantakan. Dicampakkan, ditinggalkan dan dianggap sebagai seorang wanita penggoda. Bahkan dicap sebagai wanita yang tidak pantas memiliki masa depan yang lebih baik. Apa seseorang seperti itu masih pantas untuk menjadi seorang pengajar?"

"Saya yakin anda bahkan tahu jawabannya, kan?" Sambungnya, begitu melihat pria di depannya hanya diam.

Meraih cangkir di depannya. Dengan pelan Kallana menyesapnya, seakan semua yang ia katakan bukanlah sesuatu yang menyakitkan. Padahal tidak ada yang tahu sebesar apa ia menahan rasa nyeri di hatinya yang luar biasa terasa perih.

"Mungkin ini benar-benar terdengar konyol di era modern seperti sekarang." Kallana mengangkat pandangannya. "Tapi malam itu saya benar-benar berpikir jika saya akan mati. Tidak! Bukan saya merasa berniat bunuh diri. Tapi, saya merasa Tuhan benar-benar tidak adil malam itu. Dan berpikir kenapa dia masih memberikan saya hidup jika dunia saya bahkan sudah ia rampas."

Terkekeh pelan, Elemen meneruskan ucapannya. "Malam itu saya melamar kekasih saya yang sudah saya kencani selama tiga tahun." Ia meraih cangkirnya. Menyesap kopinya pelan guna menyembunyikan sesuatu yang mendadak terasa menyedihkan masuk ke relung hatinya.

"Tapi sayang, dia lebih mencintai kariernya ketimbang saya." Dia usap sudut cangkir itu. Pelan, menatap isi cangkir yang kini bahkan tinggal setengah.

"Kami benar-benar putus. Dia memilih karier yang sebenarnya saya bahkan bisa memberikan lebih dari yang bisa ia bayangkan."

Kallana tidak tahu harus menanggapi bagaimana, jadi ia hanya diam dan menatap lurus pria di depannya yang kini juga diam membisu. Tampak menerawang dan melamun.

"Bukankah orang seperti anda, yang memiliki segalanya, bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik?" Tanya Kallana setelah cukup lama diam. Membiarkan suasana diantara mereka hening sejenak.

"Akh, tidak." Ralatnya. "Orang-orang seperti kalian. Yang memiliki segalanya, bukankah cukup mudah untuk mendapatkan wanita yang kalian inginkan? Mungkin hanya dengan jentikan jari, saya yakin kalian akan dengan mudah mendapatkan wanita yang kalian inginkan."

"Menurutmu begitu?"

"Bukan hanya menurut saya, tapi semua orang pasti akan berpikir begitu." Ia bahkan melihat, mengalami, dan merasakannya sendiri. Bagaimana orang yang ia sayangi, cintai sepenuh hati, mencampakkannya begitu saja karna menemukan wanita yang jauh lebih menarik.

Elemen mendengus. "Apa kamu tahu cinta?" Tanyanya. "Jika seorang pria mencintai wanitanya. Tidak peduli sehebat apa pun pria itu. Ia akan memilih wanitanya ketimbang wanita lain di luar sana. Yang seperti kamu katakan, mungkin akan mudah ia dapatkan."

"Tapi sayangnya saya sama sekali tidak percaya dengan adanya cinta." Terutama setelah apa yang ia alami sendiri. Bagaimana ia dicampakkan dan di tinggalkan.

"Ckk, sepertinya hidupmu terlalu membosankan, nona."

"Benarkah?" Tanya Kallana sinis.

"Ya." Sahut Elemen tak kalah sinis. "Karna itu, aku rasa kamu harus mulai mengenal cinta. Atau setidaknya menikahlah agar kau tahu bagaimana rasanya cinta. Mungkin dengan begitu semua rumor di luar sana akan berhenti jika kau menikah dan membuktikan jika wanita yang memiliki masa lalu berantakan tidak semenyedihkan itu."

"Lalu bagaimana dengan anda?" Sambar Kallana semakin sinis. "Kenapa anda tidak mencoba mengencani wanita lain di luar sana. Membuat mantan kekasih anda menyesal karna mencampakkan anda?"

Kedua mata Elemen membola. Melotot lebar yang dibalas Kallana dengan hal serupa.

Lalu.

Seakan tersadar, jika mereka telah melakukan hal konyol. Dengan serentak mereka pun tertawa. Tertawa renyah seolah melupakan apa yang telah mereka perdebatkan.

"Sepertinya aku berubah pikiran." Ujar Elemen begitu tawanya reda.

"Hmm?"

"Kamu tidak semembosankan itu."

"Aku tahu." Sahut Kallana. Yang membuat pria di depannya mencibirnya sinis.

Sekelebat bayangan, di mana Kallana dan Elemen berbicara memenuhi kepala Kallana.

Menikah dan membuktikan bahwa apa yang selama ini orang-orang pikirkan tentang dirinya tidak benar?

Kallana mengerjab.

Bisakah?

Menggeleng, Kallana berusaha menepis, mengusir segala pemikiran konyol dirinya. Dan segala ide gila yang Elemen berikan.

Tidak. Ia sudah berjanji jika ia tidak akan pernah menikah. Dan hidup seperti bibinya.

Meraih kartu nama di atas meja rias depannya. Kallana segera melemparkan benda itu ke tong sampah. Berusaha mengusir segala pemikiran konyolnya dan menghilangkan bayang-bayang tentang segala yang Elemen katakan-yang sejak tadi terus memenuhi kepalanya. Yang lambat-lambat membuatnya kian merasa gila.

Kallana; Pernikahan 365 Hari (SELESAI)Where stories live. Discover now