365 Hari | 12

1.1K 140 7
                                    

"Elemen?"

Elemen tersenyum mendengar Okta, bibi Kallana menyebut namanya. Yang entah mengapa dia merasa jika wanita paruh baya itu tampak menatapnya heran bercampur bingung.

"Kalian benar-benar akan menikah?" Okta masih tampak tak percaya, pasalnya selama ini yang ia tahu ponakannya itu berpacaran dengan pria bernama Satria, lalu bagaimana bisa dia menikah dengan pria yang bernama,... Elemen?

Berdehem pelan, Okta meralat ucapannya. "Nggak, bibi tidak akan menghalangi niat baik kalian. Tapi,.. kalian berniat menikah buru-buru bukan karna,...?" Ia lirik Kallana yang sedari tadi hanya diam. "Ah, sudahlah. Bibi senang mendengar kabar baik ini."

Kallana hanya bisa memalingkan wajahnya begitu melihat bagaimana bibinya tampak bahagia mendengar kabar pernikahannya. Yang akan di langsungkan secepatnya.

"Tante tidak perlu khawatir, Kallana dan saya menikah buru-buru bukan karna apa yang tante takutkan itu." Jelas Elemen begitu tahu ke mana arah pembicaraan wanita paruh baya di depannya itu. Yang jelas salah adanya.

Okta meringis malu lalu mengangguk mengerti, wajahnya seketika lega bercampur malu. Meski begitu wajahnya tak berhenti menatap Kallana yang hanya diam sedari tadi. Tanpa menjelaskan apa pun.

Sampai acara makan malam singkat itu berakhir, dan Elemen pamit pulang karna malam kian larut. Kallana hanya diam begitu bibinya belum beranjak dari tempatnya. Duduk diam dengan wajah tampak melamun.

"Lana akan bereskan semuanya, Bi. Bibi bisa istirahat dulu kalau,.."

"Kenapa tiba-tiba?" Okta menoleh, menatap keponakanya yang kini menghentikan gerakan tangannya yang menyusun piring. "Bertahun-tahun berpacaran dengan Satria, bibi kira kamu akan menikah dengan dia? Tapi kenapa jadi Elemen?"

Kallana menghela nafas tertahan dan lembut,kembali meneruskan kegiatannya.

"Kallana!"

"Satria tidak pernah berniat menikah denganku, Bi, sedang Elemen menawarkan pernikahan. Dan menurut Lana-"

"Apa karna itu kalian putus? Karna pria bernama Elemen ini?"

Kallana berbalik, membawa piring kotor di tanganya untuk melangkah ke arah bak pencucian piring. Seakan-akan menjelaskan jika ia tengah menghindar dari pertanyaan menuntut bibinya.

"Kallana, apa kamu tidak belajar dari kedua orang tua kamu? Apa dari yang telah mereka lakukan selama ini tak membuatmu belajar?"

Kallana masih diam memunggungi Okta.

"Bibi tidak akan melarangmu untuk menikah. Dengan siapa pun itu, tapi setidaknya tolong. Tolong pastikan jika pria itu tidak sebrengsek ayahmu."

"Elemen baik." Balas Kallana, yang berharap itu cukup untuk bibinya.

"Berapa lama kalian mengenal?"

Memejamkan matanya, Kallana meremas kedua tanganya yang saling terkepal. Berbalik dan menatap bibinya.

"Dia pria baik yang pernah Lana kenal, Bi."

"Kamu tahu, ayah dan ibumu saling mencintai dulu. Tapi lihat apa yang terjadi?" Okta menggeleng, tampak marah. "Mereka mencampakkanmu begitu saja. Meninggalkanmu tanpa peduli kau hidup dibagian bumi mana. Tanpa mau tahu kau bisa makan dengan baik atau tidak. Bahkan kau berada di mana pun mereka tidak peduli. Setelah semua itu, kamu ingin mengulangi hal yang sama?"

Layaknya tersambar petir, Kallana membeku. Terdiam dengan wajah kaku bercampur pucat.

"Kalau bukan karna ayahmu itu brengsek, mungkin kakakku tidak akan pergi meninggalkanku. Mencampakkanmu dan pergi jauh seperti sekarang."

Kallana; Pernikahan 365 Hari (SELESAI)Where stories live. Discover now