365 Hari | 4

1.2K 146 2
                                    

"Bibi perhatikan akhir-akhir ini Satria tidak pernah datang ke sini lagi? Kenapa?"

Gerakan tangan Kallana yang hendak menyuapkan nasi pun terhenti sejenak. Hanya beberapa menit sebelum ia kembali meneruskan ucapannya. Tanpa tertarik menjawab pertanyaan bibinya atau bahkan melirik wanita tua itu.

"Kenapa?" Ulangnya. "Apa kalian putus?" Tebaknya. Begitu Kallana hanya diam tanpa mengatakan apa pun.

Melirik bibinya, yang ternyata saat ini tengah menatapnya penasaran. Kallana hanya bergumam, lalu kembali menunduk untuk menyantap makanannya dengan serius.

"Benarkan? Kalian benar-benar putus?" Bibinya. Okta, seakan masih tak percaya. Terus menatap Kallana dengan wajah serius bercampur penasaran.

Ada desahan panjang begitu Kallana hanya diam dan tetap fokus pada makanan. "Ahh, tidak apa-apa, Lana." Ujarnya kemudian. "Kamu masih cukup muda, masih banyak laki-laki di luar sana yang mungkin saja akan menyukaimu. Jadi tidak perlu khawatir."

"Aku sudah selesai makannya. Aku akan cuci piring." Kallana segera bangkit. Mulai membereskan bakas makannya-pun dengan bekas makan milik bibinya.

"Tapi bibi masih penasaran, kenapa kalian bisa putus? Bukankah dia terlihat sangat menyayangimu, begitu pun sebaliknya?"

Gerakan tangan Kallana yang membereskan bekas makan di atas meja terhenti sejenak. Sebelum ia kembali meneruskan kegiatannya. Ia sempat bergumam.

"Kadang rasa sayang tidak bisa membuat seseorang memutuskan untuk terus bersama." Ujar Kallana. Yang seketika membuat Okta menatapnya lurus.

"Ah, baiklah. Terserah kalian saja. Bibi hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Tapi ngomong-ngomong, bagaimana sekolahmu sekarang?"

Kallana membawa semua cucian piring kotor ke bak pencuci piring. Memilih membelakangi bibinya dan bergumam menjawab.

Sudah seminggu lamanya dia mendapatkan skors. Dan sampai saat ini belum ada kabar apa pun dari pihak sekolah. Dan selama seminggu ini, Kallana hanya akan pergi ke perpustakaan. Tanpa mengatakan atau bahkan menjelaskan segalanya pada bibinya atas apa yang ia alami.

"Tapi bibi perhatikan kamu akhir-akhir ini pulang lebih cepat. Apa-"

"Apa bibi sudah meminum obat?"

Okta segera bangkit dari duduknya. "Ah benar. Bibi akhir-akhir ini sering merasa sakit punggung dan lelah."

Kallana menatap punggung bibinya yang melangkah menjauh. Menatap punggung rapuh itu yang terus bergumam sakit pinggang dan semacamnya. Membuat ia hanya bisa menggenggam erat dua benda di tangannya.

Menghembuskan nafas kasar, ia kembali menunduk. Melanjutkan pekerjaannya, tapi segalanya urung begitu mendengar suara dering ponselnya di meja makan.

Memutar tubuhnya, Kallana segera meraih ponselnya. Keningnya mengeryit begitu menemukan panggilan nomor tak dikenal memenuhi layar ponselnya.

Mengangkat panggilan telpon, Kallana segera melangkah menjauh. Takut-takut jika yang menghubunginya adalah pihak sekolah atau siapa pun dan membuat semua rahasianya terbongkar pada ibunya.

Ia memilih keluar rumah. Menutup pintu dan segera melangkah menjauh.

"Hallo?" Sapanya untuk pertama kalinya.

"Kallana?"

Langkah kaki Kallana terhenti, wajahnya segera menoleh ke arah depan rumahnya. Yang ternyata kini sudah ada seorang pria yang berdiri di sana. Berdiri di samping mobil sport mewah-menganggkat tanganya tinggi. Menunjukkan sesuatu dalam sebuah paper bag.

Kallana; Pernikahan 365 Hari (SELESAI)Where stories live. Discover now