365 Hari | 35

568 80 3
                                    

"Kenapa?"

Satria menoleh. Menatap Kallana tak mengerti. Jelas dia tidak paham ke mana arah pembicaraan wanita di sampingnya itu.

Kini mereka berada di taman komplek perumahan kedua orangtuanya. Sedikit menjauh guna mereka bisa berbicara empat mata. Hal yang sejak lama Satria inginkan mengingat selama ini dia sangat sulit menemui wanita di sampingnya itu. Hal yang dulu sangat mudah ia lakukan dan mendadak berubah saat ia memilih pergi dan meninggalkan wanita di sampingnya itu.

"Kenapa kamu sembunyikan semua itu dari kami?" Kallana menoleh. Balas menatap Satria yang kini menelan ludah susah payah. "Setelah kamu sembunyikan semua itu. Dengan rapat. Lalu diketahui oleh Mama. Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Satria?"

"Kamu berharap bagaimana setelah ini?"

Satria menghela nafas panjang dan dalam. Seakan ada banyak beban berat di pundaknya. Yang pria itu keluarkan lewat wajah putus asanya.

"Kamu percaya kalau aku katakan, aku nggak berharap apa pun setelah ini?"

Kallana masih menatap. Kedua mata itu hingga membuat Satria kembali meneruskan ucapannya.

"Kecuali kamu." Dia tampak bersungguh-sungguh soal itu. "Aku kira, dengan aku memilih pergi dan menjauh. Akan mudah untuk nggak memikirkan kamu dan apa pun. Terutama rencana kita sejak awal. Apalagi saat dokter memvonis aku yang nggak mungkin bisa bertahan lebih dari setengah tahun."

"Dokter bukan Tuhan!" Sela Kallana marah. "Dia bukan Tuhan yang bisa menentukan kapan manusia bisa mati dan tetap hidup! Seharusnya kamu tahu itu, Satria!"

Seharusnya Satria tahu itu. Pria itu bahkan kadang lebih rasional ketimbang dirinya. Lalu apa ini? Kenapa dia begitu mudahnya menyerah hanya karna sebuah prediksi seseorang yang sama seperti mereka? Bukankah dokter juga manusia, sama seperti mereka? Dia bukan Tuhan yang dapat menentukan kapan manusia bisa mati, kan?

"Aku tahu." Ada kekehan samar yang keluar dari bibir Satria setelahnya. Pria itu bahkan terlihat baik-baik saja. Sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang sekarat. Yang hidupnya tidak lebih dari setengah tahun.

"Aku juga awalnya tidak percaya dengan apa yang dokter katakan. Dia bukan Tuhan." Senyum tipis membingkai wajah itu. Yang entah mengapa membuat Kallana enggan menatapnya lebih lama. Wajahnya berpaling. Menatap ke depan. Sama sekali tidak tertarik untuk menatap wajah itu lebih lama lagi.

"Tapi lambat-laun... Saat tubuhku terasa lebih lemah dari biasanya. Saat rasa sakitnya kadang tidak tertahan lagi. Aku mulai sadar, dokter memang hanya memprediksi. Dia hanya mengatakan kemungkinan terburuknya. Tapi, dari semua pasien yang memiliki penyakit sama sepertiku. Apa kamu tahu jika semua prediksi dokter itu benar adanya?"

"Hanya sepuluh persen pasien yang dinyatakan tidak akan hidup lebih lama, tetap bertahan. Dan mungkin, nol koma satu persen pasien bisa sembuh. Lalu, aku harus percaya di mana? Sembilan puluh persen mati atau nol koma satu persen akan bertahan?"

"Kamu bilang. Masih ada sepuluh persen, kan? Masih ada sepuluh persen pasien untuk bertahan? Dan seharusnya dari sepuluh persen itu, kamu bisa berusaha dan optimis jika diantara sepuluh persen itu. Ada kemungkinan juga kamu sembuh. Walau hanya nol koma satu persen. Tapi seharusnya kamu tetap optimis hingga nanti kamu akan menjadi salah satunya!" Seru Kallana tak mau kalah.

Ada helaan nafas putus asa. Yang Satria keluarkan dan berharap bisa membuat sesuatu di dadanya sedikit terasa lebih baik diantara sesaknya.

Sesak itu ada. Terutama saat menemukan wajah itu menatapnya marah bercampur kecewa.

Ada berapa banyak rasa kecewa yang Satria berikan pada wanita di sampingnya itu?

"Maaf." Tangan Satria terulur. Hendak meraih tangan Kallana tapi secepat kilat Kallana bangkit dan menjauh. Membuat Satria tertegun. Begitu pun Kallana yang telah bangkit dan berdiri. Respon tubuhnya bahkan di luar kendali. Membuat mereka hanya saling tatap dengan keadaan yang hening dan sunyi.

Kallana; Pernikahan 365 Hari (SELESAI)Where stories live. Discover now