365 Hari | 7

1.1K 151 18
                                    

Elemen tidak bisa menghentikan senyumnya yang mengembang lebar di sepanjang langkahnya yang lebar dan tegas. Sesekali ia akan menatap buket bunga di tangannya.

Buket bunga besar yang sengaja ia bawa untuk permintaan maafnya kali ini.

Yah, sekali lagi. Untuk kesekian kalinya, ia kembali kalah. Kembali meminta kekasihnya untuk memaafkannya dan kembali berbaikkan. Kembali mengesampingkan keinginannya untuk menikahi wanita yang bertahun-tahun menjadi penghuni relung hatinya. Dan tetap berdiri di sampingnya.

Mempercepat langkah kakinya, Elemen tidak bisa menahan perasaan rindunya yang meletup-letup karna sudah lama tak mendengar kabar wanita itu. Begitu menggebu-gebunya dan penuh rasa rindu. Tidak sabar untuk kembali bertemu dengan wanita yang sudah hampir berminggu-minggu tidak ia temui-karna hubungan mereka yang renggang. Ditambah ia juga harus pergi melakukan perjalanan bisnis dan belum sempat untuk menghubungi wanita itu. Atau lebih tepatnya, ia ingin wanita itu yang datang padanya, memintanya untuk kembali dan mengalah hingga ia bisa menyakinkan wanita itu untuk menikah dengannya?

Langkah penuh semangat Elemen, juga wajah penuh binarnya surut. Terganti dengan wajah kaku dan tubuh membeku begitu pandangannya mengarah ke arah depan. Di mana seorang wanita yang tengah saling peluk dengan bibir saling bertautan. Tampak mesra dan tak ingin lepas satu sama lain.

Berusaha mempercayai penglihatannya, cengkraman tangan pada buket bunga di tangannya mengerat. Rahangnya mengeras begitu wanita yang sangat ia kenali bentuk tubuhnya, juga seluruh yang wanita itu miliki-menarik pria yang tengah memeluk erat tubuhnya untuk masuk ke dalam apartemen wanita itu.

Memalingkan wajahnya dengan bibir mendengus tak percaya, Elemen segera berbalik. Melangkah menjauh tanpa menoleh ke belakang. Seakan tak peduli dengan apa yang ia lihat tadi, meski nyatanya ada sesuatu yang hancur lebur. Berantakan dan tak mungkin bisa kembali utuh.

****

Sejak dulu, saat ia berkali-kali meminta wanita itu untuk tinggal. Hidup bersama dan memulai petualangan bersama dalam ikatan pernikahan. Selalu ada penolakan, selalu ada pertengkaran dan berakhir putus.

Hingga karna rasa rindunya, rasa cintanya juga sayangnya. Elemen mengalah. Ia kalah dan tak pernah bisa memaksakan kehendaknya. Berakhir, ia lah yang akan menjadi pihak mengalah dan meminta Viona untuk kembali bersamanya. Tanpa tahu alasan sesungguhnya-dibalik kata 'TIDAK' yang wanita itu lontarkan padanya. Penolakan-penolakan yang sering ia berikan pada dirinya. Karna itu, sebisa mungkin Elemen menghindari ajakan itu. Sebisa mungkin ia tidak ingin membuat wanita itu marah dan menolaknya hingga berakhir memutuskan hubungan mereka.

Tapi sayangnya, kali ini Elemen tahu. Elemen tahu apa yang membuat wanita itu menolak segala kode juga ajakannya untuk menikah.

Ada pria lain.

Ada laki-laki lain yang mungkin lebih menarik dari dirinya. Yang mungkin lebih bisa membuat wanita itu- ah tidak lupakan! Elemen merasa ia tidak seharusnya tahu, jika berakhir ia akan menjadi seorang pria yang benar-benar menyedihkan kali ini.

Tapi, pakaian pria itu. Dan postur tubuhnya, benar-benar tidak asing di matanya. Seakan ia benar-benar mengenal pria itu.

Elemen menepikan mobilnya. Menatap ke depan dengan pandangan lurus. Semua bayangan di mana kejadian itu berputar di kepalanya. Seakan semua hanya sebuah mimpi buruk yang sulit dienyahkan dalam kepalanya.

Keluar dari mobilnya cepat. Ada hentakan keras yang ia lakukan pada pintu mobilnya agar tertutup. Melampiaskan rasa marah dan kesalnya. Lalu menatap buket bunga di tangannya yang ia pesan secara khusus untuk permintaan maafnya malam ini.

Ia pandang lama bunga itu. Seakan kembali menyakinkan diri. Setelahnya ia pun berbalik melangkah lebar pada tong sampah yang berada di bawah pohon.

Ada remasan kuat yang ia berikan sebelum ia lempar buket bunga itu ke tong sampah.

Sekali lagi, ada dengusan kasar yang keluar dari bibirnya. Membawa semua rasa kecewanya, ia berbalik, hendak melangkah. Tapi segalanya terhenti begitu kedua matanya menemukan seorang wanita yang tengah berjongkok di depan sana. Berjarak beberapa meter darinya. Memeluk lututnya dengan wajah menunduk.

Menatap wanita itu lama, Elemen kembali meneruskan langkahnya. Kembali melangkah tanpa mengalihkan pandangannya. Seakan wanita itu mendadak menarik fokusnya.

Begitu wajah itu mendongak, langkah Elemen terhenti-yang seketika membuat wajah yang tadinya mendongak itu kini menatap ke arahnya.

Ada linangan air mata yang bisa dengan jelas Elemen lihat. Tapi seketika berpaling dan menghindar. Yang entah bagaimana bisa, membuat kedua kaki Elemen melangkah ke sana.

Ia terus melangkah mendekat, memangkas jarak hingga ia berdiri di depan wanita itu. Untuk beberapa menit, wajah itu hanya berpaling. Menatap ke arah lain tanpa mau menatap ke arahnya.

"Mau kopi?" Seharusnya Elemen tak menawarkan itu pada seorang wanita yang tengah menangis. Alih-alih memberikan sapu tangan di saku celananya. Ia malah menawarkan secangkir kopi-yang hanya ada kemungkinan satu persen diterima.

****

Pada akhirnya Elemen mengantar wanita itu pulang. Kembali ke rumah sederhana yang pernah ia kunjungi guna mengantar barang wanita itu yang tertinggal.

Hening.

Sepi.

Hanya hembusan angin malam yang terdengar diantara waktu tengah malam itu.

Mereka hanya diam. Duduk di kursi masing-masing tanpa membuka obrolan apa pun.

Sejak mobil Elemen terparkir di sana, tak ada satu orang pun yang membuka suara. Mereka hanya diam dan seolah menikmati keadaan hening itu.

Jika wanita yang duduk di sampingnya hanya diam tanpa berniat turun dari mobil. Begitu pun dengan Elemen. Ia pun belum berniat untuk pamit pergi dan meminta wanita yang duduk di sampingnya untuk segera turun.

"Apa pihak sekolah belum menghubungimu?" Tanya Elemen untuk pertama kalinya. Membuka obrolan diantara keadaan hening yang sedari tadi menyelimuti.

"Hmm."

Elemen menolah. "Tidak berniat mencari pekerjaan lain?" Tanyanya, yang membuat Kallana, wanita yang duduk di sampingnya pun menolah.

"Atau kamu-"

"Apa kalau aku menikah benar-benar bisa membuat mereka berhenti?"

"Apa?" Elemen terlihat kebingungan.

Kallana diam. Menatap dua bola mata pria yang duduk di sampingnya lurus. Yang menatapnya bingung. Menggeleng, ia memilih mengurungkan niatnya. Memalingkan wajahnya dan kembali menghadap ke depan.

"Lupakan." Ujarnya kemudian.

"Kal-"

"Ini seperti sudah malam. Aku akan masuk." Potong Kallana. Yang entah kenapa dia merasa menyesal karna bertanya seperti itu pada pria yang baru beberapa kali ia temui.

Yang baru beberapa kali berbicara dengannya. Konyol. Kenapa Kallana menjadi konyol sekali, sih?

"Terima kasih untuk tumpangannya. Ak-"

"Mau menikah denganku?!"

Gerakan tangan Kallana yang hendak membuka pintu terhenti. Kepalanya segera menoleh ke samping dan menatap pria-yang ternyata juga tengah menatap ke arahnya.

"Jika menikah bisa membuatmu menyelesaikan masalah. Aku rasa aku juga ingin mencobanya." Tidak ada keraguan di sana. Pada wajah dan kedua mata yang menatapnya lurus. Tapi entah mengapa membuat Kallana tak bisa berpikir jernih. Hingga dia hanya bisa diam dan tak bergeming. Balik menatap lurus dan intens.

"Kallana, ayo menikah denganku!"

Kallana; Pernikahan 365 Hari (SELESAI)Where stories live. Discover now