365 Hari | 20

1.4K 146 5
                                    

Kaku, malu, dan canggung. Itulah yang Kallana rasakan saat ini, apalagi saat ibu mertuanya berkali-kali meliriknya dengan wajah geli. Entah apa yang ibu mertuanya itu pikirkan tentangnya tadi, tapi setiap kali kedua mata itu bertemu tatap, ibu mertuanya itu akan mengukir senyum manis lalu berpaling dengan sudut bibir menahan tawa.

Dan, jangan tanya bagaimana raut wajah Kallana saat ini. Jelas memerah karna malu, ia bahkan rasa-rasanya tak bisa lagi mengeluarkan suaranya lantaran malu.

Tertangkap basah saat sedang berciuman dengan ibu mertua?

Tidak ada hal yang lebih memalukan selain itu di dunia ini. Bahkan jika bisa, Kallana ingin menenggelamkan wajahnya di dasar bumi.

Dia benar-benar malu saat ini.

Melirik pintu kamar dengan ekor matanya, Kallana benar-bena kesal saat pria yang menyebabkan suasana di antara Kallana dan ibu mertuanya menjadi canggung saat ini malah memilih mengurung diri di sana. Bukannya bertanggung jawab, pria itu malah meninggalkan Kallana hanya berdua dengan ibu mertuanya.

"Bagaimana, kamu betah tinggal di sini, Lana?"

Kallana tersentak, buru-buru berdehem guna menetralkan raut wajah dan suaranya yang mendadak terasa sulit dikeluarkan.

"Mmm, Y-ya, Ma. Di sini terasa nyaman."

"Dan kalian bisa bebas melakukan di mana pun, kan? Tanpa ada yang mengganggu?" Tanya Sinta dengan nada geli, dan Kallana hanya bisa meringis malu. Kembali dia mengingat kejadian memalukan tadi, ibu mertuanya itu, pasti saat ini sedang memikirkan hal yang tidak-tidak.

"Ma, itu,..."

"Tidak perlu malu, mama paham, pengantin baru seperti kalian ini, pasti sedang senang-senangnya bereksperimen. Mencoba segala gaya, kan?"

Wajah Kallana kian terasa panas dan terbakar. Ya ampun, bagaimana caranya menjelaskan pada ibu mertuanya itu jika dia saat ini sedang salah paham? Hubungannya dengan Elemen tidak senormal itu.

"Ma,.."

"Ah mama jadi teringat dulu saat pertama kali menikah," Sinta menoleh ke arah Kallana. Menatapnya penuh binar. "Mama dan papa dulu juga seperti kalian, jika sudah berduaan, kadang kami lupa tempat dan sekitar. Maunya nempel terus." Tawa renyah Sinta berderai, dan kallana hanya bisa menghela nafas panjang. Menyerah untuk menjelaskan segalanya.

"Oh ya, kalian tidak berencana menunda, kan? Mama akan marah kalau sampai kalian berniat menunda. Mama tahu kalian masih muda, tapi saran mama lebih baik kalian jangan menunda hal baik."

Kallana mengerjab, tampak bingung dan tak mengerti. "Menunda? Maksud mama menunda,..."

"Iya, momongan. Apa lagi memangnya kalau bukan momongan?"

Kallana merasa tenggorokannya tercekat kuat, tercekik hingga rasa-rasanya ia sulit bernafas.

"Kalian tidak berniat menunda momongan, kan?"

"M-ma,... itu,.."

"Mama akan marah kalau sampai kalian berniat menunda momongan. Mama bahkan sudah berbicara dengan bibimu. Dan dia juga setuju dengan apa yang mama katakan." Kallana kehilangan kata-kata, ia hanya bisa terdiam membisu.

"Karna itu, sekarang mama ingin mengajak kamu ke dokter obgyn. Jadi nanti kalian bisa-"

"Ma,.."

Tubuh Kallana yang awalnya terasa kaku kini semakin terasa kaku. Sulit hanya sekedar untuk digerakkan. Tapi helaan nafas lega keluar dari bibirnya begitu mendengar teguran seseorang di belakangnya. Tanpa melirik atau pun menoleh pun, jelas dia tahu siapa pemilik suara itu.

Kallana; Pernikahan 365 Hari (SELESAI)Where stories live. Discover now