Chapter 2

1.1K 129 38
                                    

Sebenarnya Hegar tidak dalam kondisi yang cukup baik untuk bekerja. Namun, selain karena sistem baru mulai diberlakukan di klinik dan apotek, sang kakek juga terus mendesaknya mengurusi SIP dokter. Ia sudah memberi perintah pada Andini untuk mengomunikasikan hal tersebut dengan dokter yang bersangkutan, tetapi ternyata lebih lambat dari yang diperkirakan. Sedangkan SIP tersebut dibutuhkan segera untuk di-upload ke HFIS atau Health Facilities Information System. Alhasil, seharian ini Hegar berusaha menghubungi pihak-pihak terkait agar kebutuhannya tersegerakan.

Sialnya, dalam kondisi sesibuk ini perutnya justru tidak bisa diajak kerja sama. Telat makan dan tekanan yang terus menerus membuat perutnya seperti dipelintir. Memberi sensasi perih dan mual di saat bersamaan. Sebenarnya, tidak aneh, tetapi Hegar tetap saja kewalahan setiap kali nyeri tersebut datang.

"Baik, terima kasih untuk waktunya, Bu. Saya tunggu kabar baiknya."

Lelaki itu menutup sambungan telepon, kemudian berjalan cepat ke arah kamar mandi. Hegar jengkel sendiri dengan keadaannya, terutama perutnya. Tidak diisi perih, tetapi diisi pun membuatnya mual dan selalu berakhir seperti ini.

Selesai dengan urusannya, Hegar berbaring di sofa. Lemas. Namun, belum sempat matanya terpejam, ponselnya berdering singkat.

Mas Heksa
Kamu di mana sekarang?
Perlu Mas ke sana?

Hegar menyunggingkan senyum tipis. Beberapa saat lalu ia memang sempat mengeluhkan kondisinya pada Heksa. Hanya pada lelaki itu karena sampai sejauh ini, Heksa saja yang bisa menerimanya dengan dewasa dan tangan terbuka. Walaupun kadang hati Hegar perih mendengar bagaimana lelaki itu dulu akhirnya harus hidup terpisah dengan sang ayah juga saudara kembarnya, berjuang di negeri orang mengejar kesembuhan, dan semua karena Hegar. Kehadiran Hegar yang membuat Bara—ayah mereka—begitu dibenci sehingga semua orang berusaha keras menjauhkan Heksa dengan lelaki itu.

Bodoh. Di saat seperti ini Hegar seharusnya tak menggiring pikirannya ke sana sebab itu tidak akan membuatnya lebih baik, justru memperparah keadaannya. Untuk kali kesekian Hegar bangkit, melangkahkan kakinya yang bahkan sudah seperti tak bertulang ke kamar mandi, melayani hasrat mualnya.

Setelahnya, lelaki itu kembali meringkuk di sofa, memejamkan mata, dan berusaha keras menekan rasa sakitnya. Namun sakit itu justru semakin hebat meremukkannya, menjalar hingga belakang, memberi rasa sesak. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia berusaha menghubungi seseorang di lantai bawah untuk membawakannya obat.

***

"Eh, tangan lo kenapa?"

Sontak saja Alea menurunkan lengan seragamnya. Alea tidak menyangka rekan kerjanya itu akan datang lebih awal dan masuk sesaat setelah ia selesai menunaikan shalat zuhur.

"Lo silet-silet, ya? Ampun kayak ABG labil banget," ujar Naura sembari tertawa. "Gue pernah, tuh, waktu SMP nulis-nulis nama gebetan pakai pecahan kaca. Gaya-gayaan aja."

"Kok tumben udah datang, Ra? Masih dua jam lagi padahal." Alea berusaha mengalihkan.

Gadis berambut panjang itu menyimpan tas di dekat meja racik, kemudian duduk di sebelah Alea. "Habis jalan sama Putra. Mau pulang, tapi takut macet nanti ke sininya. Jadi, ya, udah langsung kerja aja."

"Oh, gitu."

"Gue serius tanya, tangan lo kenapa? Lo salat, lo ibadah, tapi masih ngelakuin hal yang sia-sia. Nanti malaikat bingung yang harus dicatat amal baik atau jelek lo."

Alea menyunggingkan senyum tipis, lalu menjawab, "Pusing-pusing amat, Ra, kan malaikat dikasih tugas buat mencatat amal manusia, bukan kamu. Kalaupun nanti kamu ditanya, yang ditanya itu amalmu, bukan amal orang lain. Mulutmu dipakai apa, kakimu dibawa ke mana, tanganmu dipakai buat apa. Gitu, 'kan? Bukan mulut, kaki, sama tangan Alea dipakai buat apa."

Aku Banyak LukanyaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz