Chapter 21

911 117 14
                                    

Hegar mengayunkan langkahnya menuju apotek. Ia berniat numpang tidur sebentar karena di sana ada area yang tak terjangkau CCTV yakni musala. Bukan musala sebetulnya, hanya ruangan kecil dengan sekat rak kayu. Sang kakek sedang pergi makan, dan kemungkinan kembali sekitar tiga puluh menit atau satu jam lagi. Cukup untuk Hegar istirahat.

Sebelum masuk apotek, Hegar berbelok ke ruang administrasi, lalu berkata, "Andin, kalau Pak Marsel selesai makan siang, tolong telepon saya. Saya di apotek."

"Baik, Mas."

Usai berujar demikian, Hegar langsung masuk ke apotek lantas membaringkan tubuhnya di ruangan yang hanya beralas sebuah karpet. "Ra, saya numpang istirahat. Kalau kamu mau salat bangunin aja."

"Mas Hegar?"

Jelas sekali itu bukan suara Naura, tetapi Alea. Hegar yang sudah berbaring dan memejamkan mata, sontak kembali terjaga. "Alea? Saya pikir kamu masuk pagi."

"Enggak, Mas. Tadi ke sini karena ada kerjaan yang tadi malam enggak sempat diselesaikan. Ternyata mau pulang dulu tanggung. Mas sendiri kenapa malah melipir ke sini istirahatnya?"

Hegar terkekeh. "Kalau saya bilang saya kabur dari Pak Marsel, kamu percaya enggak?"

"Percaya, kok, Mas." Hanya itu yang dia katakan, meski dalam hati terbesit tanya. Keluarga seperti apa sebenarnya mereka? Apakah panggilan tersebut bentuk profesional kerja atau bagaimana?

"Saya boleh minta tolong? Kalau Pak Marsel datang, bangunin saya, ya, Alea."

Alea mengangguk. Namun, sebelum membiarkan Hegar tidur, Alea membuka salah satu lemari, kemudian mengambil bantal boneka dan kain pantai tipis. Biasanya jika lembur untuk stock opname mereka tidur di apotek, jadi benda semacam itu memang ada.

"Mas pakai ini biar enggak sakit lehernya."

"Hm?" Hegar memandang heran sebuah kain pantai berwarna terang, lengkap dengan sebuah bantal boneka.

"Hm?" Hegar memandang heran sebuah kain pantai berwarna terang, lengkap dengan sebuah bantal boneka

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.

"Itu baru saya laundry, kok, Mas, dan belum dipakai lagi."

"Makasih, Alea."

Alea mengangguk dan memilih kembali melanjutkan pekerjaannya. Sembari bekerja, beberapa kali ia melihat Hegar, sekadar memastikan lelaki itu masih bernapas. Rasanya prihatin. Sebuah plester masih menempel di punggung tangan, menutup bekas infus, tetapi Hegar sudah kembali bekerja.

Beberapa saat kemudian, Alea mendengar lelaki itu batuk-batuk. Setiap masuk rumah sakit Hegar selalu mengatakan jika lambungnya bermasalah hingga kadang jika sedang kambuh terlihat sesak, ditambah batuk kering. Mungkinkah Gerd? Dalam hati gadis itu bertanya. Dengan cepat Alea menggeleng. Tidak. Mendiagnosis bukan ranahnya, dan semoga Hegar pun tidak mengalami apa yang Alea pikirkan.

Karena terus mendengar Hegar batuk, Alea berinisiatif membawakan air hangat.

"Mas, maaf ini minum dulu biar enggak kering tenggorokannya."

Aku Banyak LukanyaМесто, где живут истории. Откройте их для себя