Chapter 3

1K 137 47
                                    

Sudah lebih dari setengah jam Heksa menunggu di depan pintu, tetapi Hegar tak juga menampakkan batang hidungnya. Di telepon pun hanya suara operator yang menyambutnya, membuat Heksa semakin bingung dan khawatir. Pasalnya, semalam anak itu tidak mengatakan apa pun selain pamit pulang.

Lelaki itu kembali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Satu jam lagi ia ada janji, tidak mungkin hanya berdiri di sini tanpa melakukan apa pun. Enggan menunggu lebih lama, Heksa mencoba mendorong pintu utama rumah Hegar. Alisnya saling bertaut ketika menyadari pintu tidak dikunci. Heksa masuk begitu saja dan langsung mencari keberadaan adiknya.

"Dek," panggilnya, tetapi masih tidak ada jawaban.

Akhirnya Heksa memutuskan untuk masuk ke kamar Hegar dan benar saja anak itu masih tidur dengan posisi yang sedikit berantakan. Hegar bahkan masih mengenakan setelan kerja lengkap. Heksa berjalan mendekat, kemudian meraba kening sang adik, dan ternyata demam. Hanya selang sepersekian detik setelah Heksa menyentuh dahinya, Hegar membuka mata.

"Lho, Mas?"

"Capek banget? Pintu depan enggak dikunci. Bikin panik aja."

"Hm?" Hegar berusaha mengingat apa yang terjadi semalam, tapi sepertinya ia memang lupa mengunci pintu saking lelahnya. "Beneran lupa kayaknya."

"Hari ini kerja? Badanmu panas."

"Kerja. Aku berangkat agak siangan nanti."

"Cuci muka dulu aja. Mas bawa bubur, tapi kayaknya udah dingin. Mas tunggu di bawah, ya," ujar Heksa sembari berjalan meninggalkan kamar Hegar.

Sejujurnya baru mendengar makanan saja Hegar sudah merasa mual, tetapi tidak enak juga pada sang kakak yang mau repot pagi-pagi ke sini. Pemuda itu bangkit dari tidurnya, kemudian membersihkan diri.

Di lantai bawah Heksa menunggu. Ia sudah menyiapkan semangkuk bubur untuk Hegar di meja makan, hanya tinggal menunggu anak itu turun saja. Ia tidak menyangka pertemuan mereka beberapa tahun silam saat Hegar masih berstatus sebagai anak SMA pada akhirnya membuat keduanya dekat. Hegar datang mencarinya juga Reksa, memohon pengampunan, tetapi sampai detik ini Reksa masih belum berkenan untuk memaafkan. Heksa memahami kemarahan saudara kembarnya karena ia pun bukan tak merasa sakit atas semua yang dilakukan istri kedua sang papa, tetapi saat itu Hegar masih terlalu kecil dan tidak tahu apa-apa.

Tak lama Hegar turun dalam balutan kaus juga celana selutut warna hitam.

"Mas mau panasin buburnya, tapi takut jadi enggak enak. Begini aja enggak apa-apa?"

"Iya, Mas." Hegar menarik kursi, kemudian duduk berseberangan dengan Heksa. "Mas, di Bandung berapa lama?" tanyanya sembari mengambil bubur yang sudah disiapkan Heksa.

"Sekitar tiga bulan mungkin. Tapi, setiap minggu juga pasti pulang kangen Sachi soalnya."

"Kangen bundanya juga?" tanya Hegar.

Heksa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tentu saja. Aurora masih menjadi seseorang yang selalu ia rindukan. Heksa tidak bisa membawa perempuan itu ke sini karena Sachi sekolah di sana. "Kamu udah punya pacar, Dek? Mana sini kenalin."

"Hm? Enggak kepikiran. Aku sibuk banget sama kerjaan belakangan ini. Takut enggak bisa menempatkan diri. Mas bilang, kan, cewek butuh waktu dan perhatian. Aku takut enggak bisa ngasih itu."

"Tapi, yang dekat ada, 'kan?"

Hegar tak menjawab, hanya tersenyum kecil, cukup membuat Heksa langsung mengerti. Sejak dulu Hegar memang tidak terlalu dekat dengan siapapun. Hubungannya dengan banyak orang hanya karena pekerjaan, tidak lebih. Namun, Heksa tahu siapa yang sedang dekat dengan anak itu.

Aku Banyak LukanyaKde žijí příběhy. Začni objevovat