Chapter 27

892 134 15
                                    

Reksa harus segera kembali ke Jakarta. Selain merindukan keluarganya, ia juga memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya. Namun, entah mengapa ia merasa begitu berat meninggalkan kedua adiknya. Aneh, perasaan semacam ini sebelumnya tidak pernah ada. Apakah karena Reksa sudah mulai lapang memaafkan, jadi berat rasanya membiarkan mereka berdua?

Hegar terlihat sedikit membaik meskipun wajahnya masih pucat tanpa rona. Anak itu juga sedikit lebih ceria dan banyak bicara. Namun, Reksa bingung mengapa melihat Hegar seceria itu justru membuat hatinya sedih? Seolah semua itu tidak akan pernah dia lihat lagi? Tegas, Reksa menggeleng. Lelaki itu berusaha membuang pikiran buruknya. Seperti apa pun kondisi Hegar saat ini, mereka semua tengah mengupayakan kesembuhannya.

"Bang, pulang besok, 'kan?" tanya Heksa.

Reksa tersadar dari lamunannya, kemudian mengangguk. Tadinya ia berniat pulang malam ini, tetapi Hegar memintanya tetap tinggal sehari lagi.

"Titip Hegar sebentar, ya? Ada kerjaan mendesak."

"Iya pergi aja, Dek."

"Makasih, Bang!" Pria bertubuh jangkung itu kemudian menatap sang adik seraya berkata, "Mas pergi dulu. Tolong jangan bandel."

"Oke siap!" sahut Hegar penuh semangat.

Heksa mengusap puncak kepala adiknya, kemudian berlalu dari hadapan mereka.

Selepas kepergian Heksa, Hegar melirik Reksa. "Mas."

"Hm?"

"Aku bosan di kamar. Pengin ke luar."

"Tapi, Dek, kondisi kamu-"

"Aku oke. Mas lihat sendiri, kan, sekarang udah baik-baik aja."

"Mas enggak bisa bawa kamu ke luar tanpa izin dokter."

"Aku mau minta tolong Mas buat mintain izin keberatan enggak? Mas, kan, dokter juga jadi pasti percaya. Ayolah, Mas, aku bosan. Aku butuh udara segar. Pengap tiap hari dalam ruangan. Aku enggak suka baunya."

"Oke, mas minta izin dulu. Kalau boleh nanti kita ke luar. Tapi, kalau enggak kamu harus sabar. Kondisimu harus tetap stabil sampai kita pindah ke Jakarta, Dek."

"Oke siap!"

Usai berujar demikian, Reksa meninggalkan ruangan Hegar.

Hegar belum pernah merasa sebahagia ini. Meskipun sebelumnya Reksa sempat mengatakan bahwa dia belum bisa bersikap biasa, pada kenyataannya pria itu bersikap lebih baik. Dia sigap membantu, bahkan bersedia menuruti permintaannya.

Hegar sedikit membungkuk sembari meremas perutnya yang lagi terasa nyeri. Demi Tuhan, andai meminta kematian itu diperbolehkan, Hegar mungkin sudah memintanya saking sakitnya. Namun, meminta atau berangan-angan tentang kematian tidak diperbolehkan. Maka, dia hanya merapal doa, ‘Ya Allah hidupkanlah aku jika kehidupan itu baik untukku. Dan matikanlah aku jika kematian itu baik bagiku.’

Tak lama Reksa kembali membawa sebuah kursi roda. Hegar berusaha bersikap biasa supaya keinginannya untuk keluar dari ruangan ini terlaksana sebab jika ia terlihat sakit, bisa dipastikan Reksa akan mengurungkan niatnya membawa Hegar ke luar.

"Jangan jauh, jangan terlalu lama katanya."

Hegar mengangguk cepat. Dengan bantuan Reksa, pemuda itu duduk di kursi roda, membiarkan Reksa mendorongnya meninggalkan ruangan yang menyesakkan ini.

Reksa hanya berani membawa Hegar ke taman rumah sakit. Selain tak terlalu jauh, di tempat ini juga cukup nyaman karena tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang di beberapa sudut.

"Mas, papi orangnya gimana?"

Reksa tersentak karena Hegar tiba-tiba menanyakan soal papanya. "Baik."

"Aku mimpiin papi terus belakangan ini. Padahal, cuma pernah lihat di foto."

Aku Banyak LukanyaWhere stories live. Discover now