Chapter 15

879 103 13
                                    

"Teh?"

Alea yang sedari tadi sibuk melamun sontak menoleh ke sumber suara. "Iya, Ta?"

"Mas Hegar baik-baik aja. Dia harap Teteh juga enggak nakal. Aku enggak tahu nakal kayak gimana yang Mas Hegar maksud karena cuma itu yang dia bilang."

Alea sempat berpikir yang tidak-tidak saat Hegar mengabaikan pesannya, tetapi ternyata pemuda itu masih perhatian dengan caranya. Bahkan, sampai meminta Genta mengantarnya pulang. Hegar seolah tahu orang lain tidak akan merasa curiga sebab hanya Alea yang tidak membawa kendaraan.

"Mas Hegar beneran enggak apa-apa, kan, Ta?"

"Kadang Mas Hegar cuma mau kita percaya, Teh. Percaya kalau dia jauh lebih kuat dari kelihatannya. Anggap aja begitu, dan semoga jadi doa yang baik buat Mas Hegar juga."

"Titip Mas Hegar, ya, Ta. Marahin aja kalau bandel. Aku enggak bisa kayak gitu soalnya. Kami cuma orang asing. Lancang kalau aku masuk terlalu jauh."

Genta tersenyum tipis. "Kalau Teteh cuma orang asing, enggak mungkin Mas Hegar sampai sebegitunya. Seingatku, Mas Hegar enggak banyak dekat sama perempuan. Mungkin kenalan banyak karena tuntutan pekerjaan, tapi kalau sampai minta orang lain buat jagain dan bilang kalau dia baik-baik aja supaya enggak khawatir, ya, enggak banyak. Cuma maminya, Luna, dan sekarang Teteh."

Luna. Perempuan yang datang menjenguk Hegar tempo hari? Ternyata memang benar mereka dekat.

"Teteh jangan berpikir macam-macam. Intinya, Mas Hegar pasti memikirkan segala sesuatu dengan matang sebelum mengambil keputusan. Kadang keputusan-keputusannya emang ekstrem, tapi bukan berarti enggak dipikirin sama sekali. Jadi, jangan khawatir. Percaya dan doain aja."

Alea tak punya pilihan lain selain mengiakan walaupun hatinya ragu. Apa yang dikatakan Hegar kontras dengan rona-rona pucat di wajahnya saat mereka bertemu tadi.

"Pokoknya aku titip, ya, Ta. Kalau ada apa-apa kabarin."

"Oke, siap."

"Kosan teteh yang itu, 'kan?"

"Iya, Ta. Yang cat abu-abu."

Genta memarkirkan mobilnya tepat di depan gerbang indekos Alea. "Langsung istirahat, ya, Teh. Ingat kata Mas Hegar, jangan nakal."

Alea tersenyum. "Makasih, ya, Ta. Bilang juga sama Mas Hegar dia harus baik-baik aja."

"Tenang, Teh. Aku jagain biar enggak lecet."

"Duluan."

Genta melambaikan tangan pada Alea, setelah itu memutar kemudi menjalankan mobilnya kembali. Pemuda itu harus cepat ke klinik, perasaannya sedari tadi tidak enak. Ia berusaha menenangkan Alea, sementara dirinya sendiri memiliki kegelisahan yang sama.

***

Hegar benar-benar tidak tahan. Ia mencoba tidur, tetapi sesuatu seolah membebat tubuhnya dengan kuat, sakit luar biasa. Perutnya bak disayat berulang, napas pun terasa berat. Kendati demikian, pemuda itu masih berusaha mempertahankan kesadarannya. Setidaknya sampai Genta datang. Tidak mungkin ia membuat huru-hara di tempat ini.

"Mas!" Genta langsung berlari menghampiri begitu melihat Hegar. "Mas kita ke rumah sakit, ya. Mas Heksa masih di jalan."

Hegar menggeleng tegas. "Pulang."

"Jangan keras kepala, deh, Mas! Sekali ini aja tolong dengerin saya. Biasanya saya yang dengerin Mas Hegar terus. Gantian bisa, 'kan?"

Demi Tuhan Genta tidak bermaksud kasar apalagi sampai membentak Hegar. Ia terlalu cemas sampai hilang kendali. Pemuda bertubuh jangkung itu langsung memapah Hegar menuruni satu per satu anak tangga. Sialnya, mereka berada di lantai III sekarang, jadi butuh usaha ekstra untuk membawa Hegar ke mobil.

Aku Banyak LukanyaWhere stories live. Discover now