Chapter 23

981 106 14
                                    

"Ta, saya titip Hegar. Kalau dia bandel langsung telepon saya aja. Kemungkinan saya dua hari di Jakarta sekalian diskusi soal jadwal operasi Hegar."

Genta mengangguk cepat. Ia mengerti posisi Heksa di sini juga tidak mudah. Pria itu berat meninggalkan Hegar, tetapi juga memiliki tanggung jawab atas istri, anak, dan keluarganya yang lain. "Saya pasti jagain Mas Hegar kok, Mas. Mas tenang aja di sana."

Heksa menepuk pundak pemuda itu beberapa kali sembari tersenyum. Kondisi Hegar tidak benar-benar baik, tetapi tak terlalu buruk juga untuk ditinggal. Sachi sudah mengeluh merindukannya, demikian pula sang istri. Heksa juga harus bertemu Reksa untuk memastikan kembarannya baik-baik saja.

Usai berkemas, Heksa menghampiri sang adik yang kini duduk bersila di sofa sembari menonton film. Ia meraba kening pemuda itu, lantas berkata, "Udah enggak demam. Paksain makan biarpun enggak enak, ya, Dek. Sedikit-sedikit aja biar perutmu enggak tambah sakit."

"Hm."

"Kamu jangan bandel. Kalau kamu ngeyel, demi Tuhan mas bakal bilang sama mami kamu."

Alasan Hegar masih bersantai di rumah sesiang ini tentu saja karena ancaman Heksa. Hegar tidak ingin maminya khawatir. Jadi, pagi-pagi sekali ia menghubungi sang kakek, izin tidak masuk kerja, dengan catatan semua pekerjaannya akan tetap diselesaikan hari ini.

"Iya, bawel."

"Ya udah, mas pergi dulu. Kalian jaga diri."

Keduanya kompak mengangguk.

Selepas kepergian Heksa, Genta masih mematung sambil senyum-senyum, membuat Hegar bingung sendiri melihatnya.

"Kenapa senyum-senyum?"

Merasa diajak bicara, Genta langsung menoleh. "Mas Heksa kalau mau istrinya bisa lebih dari satu lho. Enggak mungkin cewek-cewek enggak jatuh cinta. Sama kita seperhatian itu, apalagi sama cewek."

Hegar mengangguk setuju. Mau dilihat dari sisi mana pun Heksa memang mengagumkan.

"Eh, Ta, maaf tolong ambilin laptop saya."

Genta berdecak sebal. "Baru juga Mas Heksa keluar, udah mau kerja aja, Mas."

"Saya punya tanggung jawab. Yang penting, kan, saya di rumah. Enggak ke mana-mana. Kalau kamu keberatan, biar saya--"

Sebelum Hegar menuntaskan kalimatnya, Genta lebih dulu bergerak menuju kamar lelaki itu. Dia tak punya pilihan selain patuh, daripada harus berdebat karena Hegar memaksakan diri pergi ke klinik, lebih baik seperti ini.

Diam-diam Hegar tersenyum. Di dunia ini ada beberapa hal yang Hegar syukuri, satu diantaranya kehadiran orang-orang baik seperti Genta dan sang kakak.

***

Heksa mengayunkan langkahnya memasuki pekarangan rumah. Senyumnya mengembang sempurna melihat sang mama tengah berdiri di salah satu sisi taman sembari menyiram tanaman. "Assalamualaikum bidadariku."

Sontak Aulia berbalik, meletakan sebuah alat penyiram tanaman di tangannya, kemudian menghambur memeluk putranya.

"Waalaikumsalam. Ya Allah, Sayang, kok enggak kasih kabar mau pulang?"

"Sengaja. Mama kalau aku pulang semua dimasak, semua disiapin, kayak aku habis perang."

Aulia terkekeh. "Ayo masuk. Untung semua lagi ada di rumah."

"Abang enggak kerja?"

"Abang masih sakit, Nak. Tapi, udah lebih baik sekarang."

Aku Banyak LukanyaWhere stories live. Discover now