Chapter 10

918 110 23
                                    

"Mama kenapa malah bilang sama Luna aku dirawat? Kasihan, kan, kuliah sama kerjanya jadi terganggu."

"Apaan, deh, Kak. Kayak sama siapa aja. Lagian mumpung Kakak di Jakarta, apa salahnya ketemu? Udah lama lho. Terakhir tahun lalu. Tega banget."

Hegar terkekeh. Dalam hati ia membenarkan ucapan Luna. Sudah lama sekali mereka tidak bertemu karena Hegar terlalu sibuk pindah dari kota satu ke kota lain untuk mengembangkan usaha sang kakek. Namun, bukan dalam kondisi seperti ini juga pertemuan yang dia inginkan. Hegar tidak pernah mau terlihat menyedihkan di mata siapa pun.

"Hegar, tuh, sebetulnya senang kamu jenguk, tapi gengsi aja makanya bilang gitu."

Kali ini Luna yang tersenyum, lengkap dengan rona kemerahan di pipi bulatnya. Bagi Luna sendiri, Hegar adalah sosok yang luar biasa meski terkadang keras kepala. Hegar pintar, penyayang sekalipun terlihat cuek, dan mau meladeni semua pemikiran anehnya tatkala bosan.

"Enggak gengsi, Mi, cuma, ya, sekalinya ketemu aku lecek begini. Apa enggak bisa tunggu aku sedikit lebih keren?"

"Kakak tetap keren kok mau kayak gimanapun."

"Hm?" Hegar bergumam sembari menaikan sebelah alisnya, membuat Luna refleks menutup mulut menyadari ucapannya.

"Kakak udah makan? Ka-kata dokter Kakak enggak boleh suka nunda makan. Jangan minum aneh-aneh juga. Kakak udah pernah janji." Gadis itu buru-buru mengalihkan pembicaraan.

"Belum pengin makan, tapi nanti pasti makan. Iya, maaf udah ingkar janji."

Kalimat itu bukan penenang semata, Helena tahu ada sesal dalam kata yang terucap.

"Mau coba makan, Nak? Sedikit-sedikit aja."

Tentu saja Hegar tidak ingin terlalu lama membuat dua perempuan yang berharga dalam hidupnya khawatir. Meski belum berani memasukan apa pun ke dalam perut, lelaki itu akhirnya mengangguk. Sebenarnya bukan tidak ingin. Jika ditanya lapar atau tidak pun tentu saja Hegar lapar. Namun, belakangan ini kondisi lambungnya benar-benar buruk. Kenakalannya semalam juga turut memperparah kondisi tersebut. Seperti tadi pagi, sarapannya berakhir sia-sia di wastafel. Perasaan tidak nyaman itulah yang membuatnya merasa enggan setiap kali diminta makan.

"Mau mami yang suapin atau Luna?"

"Aku udah besar, Mi."

Helena tersenyum kecil, kemudian mengangguk sembari menyerahkan makanan yang semula disimpan di atas nakas samping tempat tidur Hegar. Sebenarnya makanan dari pihak rumah sakit—jatah makan siang Hegar—sudah diambil kembali karena Hegar sama sekali tak menyentuhnya, tapi tadi Helena sempat membelikan makanan dari luar, takut tiba-tiba putranya merasa lapar.

Suasana mendadak hening. Hegar berusaha mencoba makan, sementara dua perempuan yang ada di sana sibuk memperhatikan. Ekspresi Hegar benar-benar tidak meyakinkan. Beberapa kali lelaki itu kedapatan seperti hendak muntah, tetapi ditahannya. Jujur, Helena dan Luna merasa tidak tega melihat itu.

"Kak, kalau misalkan enggak kuat sedikit-sedikit aja asal sering."

Lelaki berwajah pucat itu memaksakan seulas senyum, kemudian mengangguk dan menyerahkan kembali makanan tersebut pada sang mami. "Maaf, ya, Mi."

"Enggak perlu minta maaf, Nak. Nanti setelah sembuh bisa makan yang banyak."

Hatinya teriris perih. Kondisi Hegar sekarang mengingatkannya pada Heksa dulu. Bagaimana bisa saat itu Helena begitu jahat mengatakan hal-hal menyakitkan pada Heksa yang sedang terbaring lemah pasca radioterapi? Bicara soal kematian, perceraian orang tuanya, bahkan tentang posisi Heksa yang akan digantikan Hegar. Wajar saja Reksa membencinya sampai detik ini. Lain dengan Heksa. Anak yang dia perlakukan sejahat itu justru memaafkan Hegar dengan tulus, merawat, juga memberi kasih tanpa batas. Helena malu.

Aku Banyak LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang