Chapter 29

855 121 12
                                    

Heksa memutuskan untuk pulang dulu memeriksa kondisi kembarannya. Bukan tega meninggalkan Hegar, tetapi Reksa pun sama penting untuknya. Apalagi, kakaknya itu sendiri di rumah.

"Bang," panggilnya.

Tak mendapat respons, pria bertubuh jangkung itu langsung menerobos masuk ke salah satu kamar dan mendapati Reksa masih tidur. Sepertinya, sepeninggal Genta Reksa belum terjaga. Heksa mendaratkan punggung tangannya di dahi sang kakak dan menyadari bahwa Reksa demam.

Heksa mengambil waslap berikut air hangat dalam wadah, kemudian mengompres sang kakak.

Merasa terusik, perlahan Reksa membuka mata. "Dek, Hegar udah sadar?"

"Jangan mikirin Hegar dulu," sahut Heksa. Ia tidak mungkin memberitahukan kondisi Hegar untuk saat ini.

Reksa kembali menutup mata, berusaha menghalau pusing yang kembali menyerang.

"Pusing banget? Mau ke dokter aja, Bang?"

Tegas, Reksa menggeleng. Ia sudah meminta tolong pada Genta untuk membelikannya obat tadi. Walaupun belum hilang sempurna, setidaknya Reksa merasa lebih baik dibanding tadi. "Kata dokternya gimana?"

"Udah makan belum? Tadi Genta beli obat, 'kan? Udah diminum?" Heksa berusaha mengalihkan.

Kondisi Hegar benar-benar jauh dari kata baik. Kembali terjadi perdarahan di lambungnya. Bahkan, dokter sempat tidak bisa melihat dengan jelas kondisi lambung pemuda itu karena terlalu banyak bekuan darah. Akhirnya, dilakukan pencucian lambung. Dari situ diketahui banyaknya luka di dinding lambung Hegar.

Reksa sadar ada yang tidak beres. Pria itu mengambil sesuatu yang menempel di dahinya, memaksakan diri untuk bangun, berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya. "Apa kata dokter?" ulangnya.

"Terjadi perdarahan lagi, Bang."

"Gue enggak nyangka kalau penyakitnya bisa berkembang secepat itu. Kalau Hegar enggak terlalu santai, kondisinya mungkin jauh lebih baik dari ini."

"Dia keras kepala dan gila kerja. Susah minta dia berhenti. Tanggung jawab selalu jadi alasan."

"Itu yang bikin gue yakin dia benar-benar adik kita karena dia dan lo sama, Dek."

Heksa memaksakan seulas senyum. "Pelan-pelan aja, Bang. Lo enggak harus terlalu memaksakan diri. Gue tahu itu berat. Tapi, makasih udah berusaha. Sekali lagi, lo hebat."

"Gue enggak mau menyesal lagi."

"Lo tidur lagi aja. Jangan mikirin apa pun sampai lo baikan. Gue butuh lo, Bang. Kalau lo tumbang, yang bantuin gue siapa?"

Reksa mengangguk. Heksa ada benarnya. Memaksakan diri tidak akan membuatnya lebih baik, justru membuat Heksa semakin kesulitan. Apalagi, suka atau tidak Reksa harus segera kembali ke Jakarta.

"Lo juga jangan terlalu capek, Dek."

"Iya, tenang aja."

***

Mengetahui kondisi Hegar, semua perempuan yang ada di sana berwajah muram. Genta yang merupakan satu-satunya lelaki di antara mereka jadi bingung. Ia hanya berusaha menenangkan ibu dari atasannya itu. Sedangkan Alea dan Luna dibiarkan mengobrol berdua, saling menenangkan paling tidak.

"Kakak udah lama kenal Kak Hegar?"

"Sejak klinik buka. Aku biasanya cuma dengar tentang kamu, hari ini akhirnya ketemu."

"Tentang aku?"

"Waktu telepon Mas Hegar."

Luna hanya mengangguk. Sejujurnya ia terkejut karena ada perempuan lain selain dirinya yang ternyata bisa dekat dengan Hegar.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Aku Banyak LukanyaWhere stories live. Discover now