Chapter 12

713 89 20
                                    

"Jangan bandel, ya, Bocil. Nanti kalau ada waktu aku ke Jakarta lagi."

"Kita cuma beda satu tahun, ya, Kak, tolong," sahut Luna dengan bibir mengerucut.

Hegar hanya tertawa kecil mendengar jawaban perempuan di hadapannya.

Setelah dirawat beberapa hari dan melakukan serangkaian pemeriksaan, Hegar memang memutuskan untuk kembali ke Bandung dengan catatan tidak boleh berkendara sendiri. Jadi, kemarin malam ia meminta Genta ke Jakarta untuk menjemputnya.

Sang mami sebetulnya mengomel panjang lebar, tetapi Hegar berusaha memberi pengertian tentang tanggung jawabnya. Sebelum kakeknya bawel, Hegar memilih tahu diri dan langsung bergegas. Hasil pemeriksaannya sendiri mungkin baru keluar hari Jumat nanti dan sang dokter berjanji akan langsung menghubungi.

"Aku berangkat dulu. Mami jaga kesehatan."

"Mami yang harusnya bilang begitu. Enggak sadar badannya akhir-akhir ini sering drop?"

"Aku udah kayak gini dari kecil, kan, Mi? Tapi alhamdulillah masih hidup. Jadi, Mami enggak perlu khawatir. Aku baik-baik aja."

"Jangan bandel. Makannya enggak boleh telat. Ingat kata dokter. Stok makanan yang banyak, Nak. Seenggaknya kalau lagi sibuk kamu bisa ngemil."

"Alarmnya juga ingat, Kak." Luna ikut menimpali.

Lagi, Hegar tersenyum pada keduanya. "Tenang aja, di sana ada Genta kok. Dia yang urus stok makananku. Aku juga bisa minta tolong sama dia kalau ada apa-apa."

"Ya udah, hati-hati, ya, Nak. Kalau enggak ada halangan mami secepatnya ke Bandung buat nemenin kamu. Masih ada yang harus mami selesaikan sekarang," ujar Helena. Perempuan itu mengalihkan pandangannya pada Genta, kemudian berkata, "Nak Genta, titip Hegar, ya. Kalau bandel tolong kasih tahu tante."

"Siap, Tante!"

Pemuda bertubuh jangkung itu bergerak memeluk sang mami, lalu mengusap dan mencium punggung tangannya. "Mami jangan nakal."

"Iya, Sayang."

"Lun, jaga diri, ya. Makan sama minum air putih jangan lupa. Baik-baik kuliahnya. Kalau capek istirahat. Kalau butuh tempat cerita atau bantuan aku usahakan buat selalu ada."

"Makasih, Kak. Kakak juga baik-baik di sana."

Usai berpamitan, Hegar dan Genta langsung bergegas.

Sepanjang perjalanan Hegar tak banyak bicara. Lelaki itu memilih tidur atau sesekali mengecek pekerjaan. Genta juga kedapatan meliriknya berulang, tampak cemas, membuat Hegar gemas sendiri.

"Fokus aja nyetirnya."

Genta tersenyum kikuk. Sebenarnya ini bukan kali pertama ia menyaksikan atasannya tumbang, apalagi Genta selalu ikut ke mana pun Hegar pergi. Selain tenaganya dibutuhkan, berada di dekat lelaki itu rasanya menyenangkan. Terlebih mereka sama-sama kesepian karena terlahir sebagai anak tunggal. Hegar juga memperlakukan dengan begitu baik, tidak seperti atasan ke bawahannya, melainkan saudara.

"Saya enggak apa-apa. Udah biasa begini. Kamu tahu, 'kan?"

"Iya tahu," sahut Genta seadanya.

Pemuda itu berusaha keras bersikap biasa karena tahu betul Hegar tidak pernah suka diperlakukan seperti orang lemah mekipun pada kenyataannya demikian. Hegar bisa tumbang berkali-kali dalam satu bulan hanya karena terlalu lelah, diperkuat dengan fakta bahwa sejak kecil pun Hegar sudah seperti itu. Namun ajaibnya, akhir bulan lalu dia masih bisa bekerja bahkan hanya selang satu jam setelah lepas infus.

"Mas, udah diperiksa? Kayaknya belakangan ini sering banget sakit sampai dirawat."

"Hm, udah."

"Terus kata dokter gimana?"

Aku Banyak LukanyaWhere stories live. Discover now