Chapter 25

981 122 28
                                    

"Ta ... Ta ..., tolong pegang saya."

Genta refleks mendekat kemudian menahan tubuh atasannya. Lelaki itu panik karena hanya selang sepersekian detik setelah bicara, tubuh Hegar benar-benar meluruh jatuh di hadapannya. "Mas!"

Hegar sudah merasa seperti “nyaris hilang” sejak tadi, tetapi tetap berusaha keras memfokuskan diri sebab sang kakek sedang memeriksa seluruh gedung dan minta ditemani. Sayang, kondisi pemuda itu memang mencapai batasnya. Perlahan, suaranya sendiri terdengar semakin jauh. Hingga akhirnya, Hegar kehilangan fokus, keseimbangan, bahkan kendali atas tubuhnya. Untunglah ia sempat mengatakan sesuatu sekalipun tidak yakin orang yang dimintai tolong mendengarnya atau tidak karena posisinya berdiri memang jauh dari tumpuan, jadi Hegar tidak bisa berpegang sendiri.

Sang kakek cukup terkejut melihat cucunya tumbang. Namun, ia segera memberi perintah agar Genta mengambil sesuatu untuk merangsang kesadaran cucunya. "Coba kamu ke apotek minta yang hangat atau apa pun. Jangan bikin gaduh apalagi mengganggu dokter di jam operasional."

"Tapi, Pak ...."

"Hegar cuma pingsan. Bisa kita tangani sendiri."

Genta geram. Pria paruh baya itu bahkan tidak tahu separah apa kondisi Hegar, tetapi dengan berani bicara seolah apa yang terjadi pada Hegar sesepele itu. Dengan perasaan jengkel, Genta bergegas ke apotek.

"Teh."

Alea yang tengah sibuk menyiapkan obat langsung berbalik. "Kenapa, Ta?"

"Minta kayu putih atau apa, Teh. Mas Hegar pingsan."

Tentu saja Alea panik. Ia menunda pekerjaannya sejenak, kemudian mengambil sesuatu di etalase depan. "Kok bisa, Ta? Sekarang Mas Hegar dimana? Kenapa enggak panggil dokter aja?"

"Kata Pak Marsel jangan bikin heboh."

"Lho, itu cucunya pingsan kok bisa tenang banget minta jangan bikin heboh?"

Genta mengedikkan bahu. Dari dulu ia memang tidak begitu suka berurusan dengan atasannya yang satu itu karena dia penyebab Hegar dipandang buruk oleh nyaris seluruh karyawannya. Padahal, Hegar hanya bergerak sesuai perintah.

Begitu kembali, Hegar masih belum sadarkan diri.

"Pak, sebaiknya kita bawa Mas Hegar ke rumah sakit."

"Untuk apa? Kalau masih belum sadar, selesai jam operasional kita bisa minta dokter untuk memeriksa."

"Pak, Mas Hegar sakit serius. Dia butuh perawatan sekarang." Akhirnya, kalimat itu keluar dari bibir Genta. Ia sudah tidak tahan berdiam diri menyaksikan Hegar terkapar, sementara Genta tahu kondisi Hegar sebenarnya. Heksa yang memberitahu keadaan lelaki itu tepat sebelum pamit ke Jakarta.

"Hegar sakit serius?"

"Iya. GIST. Gastrointestinal Stromal Tumor." Melihat atasannya tertegun cukup lama, Genta kembali menyadarkan. "Pak, kita harus cepat."

Akhirnya laki-laki itu mengangguk dan membiarkan Genta melakukan sesuatu untuk menolong cucunya.

Hanya selang beberapa menit, bantuan datang. Hegar langsung dibopong ke dalam ambulans. Suasana klinik yang semula tenang berubah gaduh.

Alea hanya mengintip dari depan, tak berani mendekat sekalipun pikirannya dipenuhi ketakutan. Dalam hati ia merapal doa, semoga Hegar baik-baik saja.

***

Mendengar kondisi Hegar kembali drop, Heksa tak menunda waktu untuk kembali ke Bandung. Namun, kali ini Reksa ikut bersamanya. Ia tidak mungkin membiarkan sang adik menyetir gila-gilaan untuk sampai ke Bandung lebih cepat.

Aku Banyak LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang