Chapter 22

765 112 15
                                    

Alis tebal Heksa saling bertaut melihat seorang pemuda bertubuh jangkung mengenakan seragam SMA tengah berdiri di depan rumahnya. Sembari menggulung lengan kemejanya, Heksa berjalan mendekat, kemudian menyentuh bahu pemuda itu.

Refleks dia berbalik seraya membetulkan tas yang tersampir di bahunya.

"Kamu." Heksa tak bisa melanjutkan kata-katanya. Jujur, ia masih berharap pemikirannya tempo hari salah. Pasti banyak orang yang dinamai Helena juga Hegar di dunia ini, bukan? Namun, sekali lagi takdir seolah mementahkan harapannya karena orang itu justru ada di depan mata.

Cukup lama Hegar diam, memperhatikan dengan saksama, memastikan jika orang itu benar Heksa. Sang mami sudah mewanti-wanti untuk tidak melibatkan diri dengan keluarga Heksa. Namun, Hegar tetap menemui mereka sebab ia butuh lebih dari sekadar maaf.

"Mas pasti udah tahu siapa saya. Tapi, kalau mas lupa, saya orang yang Mas kasih ini tempo hari," kata Hegar. Ia merogoh saku celana seragamnya, kemudian memperlihatkan minyak aroma terapi roll on yang pernah diberikan Heksa. "Koala," lanjutnya.

Dalam keterkejutannya, Heksa berusaha bersikap normal. "Ada perlu apa? Kok bisa tahu rumah saya? Padahal, itu bisa kamu simpan. Enggak perlu dikembalikan."

"Saya datang bukan gara-gara ini, dan saya yakin Mas tahu alasannya. Wajah kaget Mas waktu itu cukup untuk menjelaskan semuanya."

Sial. Bahkan, meski Heksa tak melakukan apa pun hari itu Hegar tetap menyadarinya.

"Saya enggak akan tahu kalau mami enggak cerita."

"Lebih baik kamu pulang. Rumah saya terlalu ramai sekarang. Semua orang ada di sini."

Demi Tuhan, Heksa tahu betul sifat kembarannya. Jika hanya membicarakan Hegar tempo hari saja bisa semarah itu, apalagi sekarang? Belum lagi ada sang mama di rumah. Pasti terjadi keributan besar.

"Saya enggak akan pergi, Mas. Saya mau minta maaf."

"Kamu bisa minta maaf nanti. Kamu enggak tahu karakter kembaran saya. Jadi, tolong. Jangan membuat keributan."

Sayangnya, Hegar tetap keras kepala. Ia pikir ini waktu yang tepat untuk meminta pengampunan. Saat semua orang ada.

"Kasih saya kesempatan, Mas. Saya perlu bicara dan meminta maaf atas perbuatan mami, juga kehadiran saya."

"Kesempatan? Maaf?"

Heksa terkejut mendengar suara itu. Melihat Reksa keluar dari pintu utama dengan wajah datar, membuatnya merinding sendiri.

"Saya enggak nyangka, manusia seperti kamu masih punya nyali untuk datang ke tempat kami. Udah sehebat apa kamu?"

Hegar meneguk salivanya susah payah. Ternyata benar mereka kembar identik, tetapi pria berkacamata itu memiliki aura yang lebih mengerikan dari Heksa.

"Saya berkewajiban meminta maaf untuk semuanya, Mas. Karena kehadiran saya, mami membuat keributan besar sampai keluarga Mas berantakan. Saya benar-benar minta maaf untuk itu."

"Kamu pikir saya bisa menerima seseorang yang membuat keluarga saya berantakan? Kamu pikir saya bisa memaafkan seseorang yang membuat saya membenci ayah saya sampai napas terakhirnya? Enggak. Kamu alasan adik saya ditinggalkan, kamu alasan mama saya terluka seumur hidupnya, kamu adalah luka untuk semua orang."

Pemuda berseragam putih abu itu mulai gemetar. Ia terbiasa dicaci sana-sini, tetapi entah mengapa mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut Reksa rasanya seribu kali lipat lebih menyakitkan.

Menyadari perubahan wajah Hegar, Heksa mendekati kembarannya, berusaha menenangkan. Pertengkaran ini jelas tidak seimbang karena bagaimanapun Hegar hanya anak SMA. Apalagi, suka atau tidak rasa sakit mereka bersumber dari Helena, bukan anaknya.

Aku Banyak LukanyaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz