Chapter 14

721 103 18
                                    

Kakek
Kakek lihat omzet di Infinity Bandung menurun tajam, terutama apotek.
Kamu ada di sana, tapi pendapatan malah menurun? Coba dicek apa yang salah.

Kakek
Kakek perhatikan juga pengeluaran obat untuk peserta jaminan kesehatan jebol.
Turunkan plafonnya.

Hegar menghela napas membaca pesan sang kakek. Sejujurnya Hegar sudah kelelahan secara fisik atau mental. Namun, ia tidak bisa lepas tangan begitu saja sebab banyak orang yang bertaruh nasib di perusahaannya.

Saya
Secepatnya aku cek
Beberapa hari ini aku sakit, Kek

Kakek
Sakit, ya, minum obat.
Bukan ngeluh.

Pemuda itu tersenyum miring. Memang respons seperti apa yang dia harapkan? Jika sang ayah yang merupakan anak kandungnya saja tidak dipedulikan, apalagi Hegar? Dia hanya orang asing di keluarga itu. Budak dari keserakahan mereka.

Hegar menekan ulu hatinya yang lagi-lagi terasa perih dan sakit di saat bersamaan. Pemuda itu menggigit bibir bawahnya, berusaha mengalihkan rasa sakit. Memang seharusnya sesekali Hegar egois mematikan ponsel. Dalam keadaan seperti ini, sialnya obat-obatan Hegar juga tertinggal di lantai bawah. Jangankan berjalan ke sana, untuk keluar kamar saja Hegar sangsi. Jadi, ia memilih menghubungi Genta, dan tak butuh waktu lama sampai anak itu menerima panggilannya.

"Halo, Mas."

"Ta, tolong bawain obat saya ke atas."

"Mas Hegar kenapa?"

"Saya enggak apa-apa."

Suara Genta tiba-tiba menghilang. Pemuda itu memutus sambungan teleponnya sepihak. Beberapa menit kemudian terdengar derap langkah. Genta sama sekali tak mengetuk pintu, langsung masuk, dan menyerahkan obat yang Hegar maksud sepaket dengan air minum.

"Ta, tolong kamu ke apotek, ya. Minta laporan harian bulan Juli sama Alea. Tolong dipisah antara pendapatan umum, resep, dan lainnya."

Genta sebetulnya kesal karena memikirkan pekerjaan. Padahal, saat bicara seperti itu pun Hegar sambil meringis menahan sakit. Namun, ia sadar siapa yang membuat Hegar sampai sebegitunya.

"Oke, Mas. Hari ini banget harus selesai?"

Hegar mengangguk. "Saya butuh dokumennya buat dilaporkan juga."

"Oke. Mas enggak apa-apa ditinggal sendiri."

"Aman."

"Mas Heksa ke sini lagi nanti sore. Kalau Mas butuh sesuatu telepon saya aja."

Lagi, Hegar mengangguk.

Genta tak langsung pergi. Pemuda itu membawakan air mineral juga makanan ringan dan meletakkannya di nakas samping tempat tidur Hegar. Tak lupa ia mendekatkan ponsel dan obat-obatan yang dibutuhkan sang atasan.

Terus terang saja Hegar terkejut dengan perlakuan Genta, tetapi diam-diam hatinya menghangat.

"Saya pergi dulu, Mas. Ingat, kalau ada apa-apa langsung telepon saya."

"Oke."

"Jangan oke-oke, tapi enggak."

Hegar terkekeh. "Iya. Pakai mobil saya aja."

Aku Banyak LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang