Chapter 24

953 125 17
                                    

Reksa dan Heksa duduk di ruang keluarga. Di sana hanya ada mereka berdua. Nyaris seluruh penghuni rumah sudah jauh terlelap. Heksa sengaja membiarkan mereka semua tidur lebih dulu agar lebih leluasa bicara dengan kembarannya.

"Kondisi lo gimana sekarang Bang?"

Setelah cukup lama saling diam, Heksa memberanikan diri memulai pembicaraan. Entahlah, rasanya sedikit canggung hanya berbincang berdua seperti ini.

"Baik-baik aja. Enggak usah dipikirin," sahut Reksa.

Meski terkadang pikirnya kekanakan karena merasa butuh perhatian Heksa, Reksa tidak ingin memaksa Heksa berpikir terlalu keras untuk membagi perhatiannya dengan adil. Apalagi, Reksa tahu betapa kembarannya kelelahan dihadapkan dengan situasi seperti ini.

"Lo tahu, kan, Bang, biarpun gue enggak di sini, bukan berarti gue enggak peduli atau enggak mikirin lo sama sekali. Gue khawatir sama lo, tapi gue percaya di sini banyak yang jagain lo, sedangkan di sana Hegar sendiri karena enggak ada satu pun yang tahu kondisi dia sebenarnya. Gue minta maaf buat itu."

"Lo enggak perlu menjelaskan atau minta maaf untuk apapun. Gue tahu segala sesuatu yang lo lakukan, pasti udah dipikirin. Gue cuma minta, jangan terlalu capek."

Sudut bibir Heksa terangkat membentuk seulas senyum. Ia tahu, kembarannya tidak sejahat itu. Mungkin sama sepertinya, ada perasaan takut kehilangan atau ditinggalkan saat melihat seseorang yang kita sayang dekat dengan orang lain. "Gue oke, Bang. Jangan khawatir. Gue bukan Heksa yang dulu."

Tentu saja Reksa tidak akan lupa seperti apa kembarannya dulu. Betapa mengerikan bayang-bayang kematian saat itu.

Tadinya Heksa hendak membicarakan ihwal rencana operasi Hegar, tetapi ia menahan diri dan memilih membahas itu dengan Yohan besok. Heksa menghargai perasaan sang kakak. Tidak mungkin ia membicarakan kondisi kesehatan Hegar di saat kakaknya sendiri dalam keadaan tidak terlalu baik.

"Kalau masih lumayan vertigonya mending periksa. Lo sama Yohan lebih tahu gimana-gimananya, Bang."

"Bukan masalah besar, emang karena capek aja kayaknya."

"Ya udah, mending sekarang lo istirahat."

"Gue masih pengin ngobrol."

Heksa terkekeh. Dibanding mengatakan secara langsung bahwa dia rindu, rupanya Reksa memilih kalimat serupa. "Bilang kangen aja gengsi banget, Bang. Mau bahas apa? Cara bikin Ares part 2? Masa keduluan sama gue."

"Gila."

Lagi, pria itu tertawa mendengar respons kakaknya. "Apa dong?"

"Masih lama di Bandung?"

Raut wajah Heksa tiba-tiba berubah. "Enggak, sih, kayaknya. Kalau kerjaan udah selesai dan kondisi Hegar bisa ditinggal gue langsung pulang. Aurora juga, kan, lagi hamil. Berat banget harus bagi waktu kayak gini sebenarnya. Tapi, mau gimana lagi?"

Reksa tahu, tidak mudah untuk Heksa melakukannya. Apalagi, sekarang Aurora cenderung lebih cengeng dan sensitif. Hal kecil saja bisa membuatnya menangis. Apalagi, Sachi juga sering merengek merindukan Heksa. Namun, meninggalkan pekerjaan dan seseorang dalam kondisi sakit berat pun sulit. Reksa ingin membantu, tetapi terbentur pekerjaannya juga.

"Kenapa Hegar enggak di sini aja sampai pengobatannya selesai?"

"Bandelnya kayaknya nurun dari lo atau gue, deh, Bang. Ngeyel banget anaknya."

"Jelas dari elo."

"Dia masih meringis-ringis aja, udah pegang laptop dan kerja. Gimana enggak ambruk."

"Ngaca. Lo juga sama."

"Tapi, gue ngerasa enggak sebandel ini."

"Emang enggak. Lo lebih."

Aku Banyak LukanyaWhere stories live. Discover now