Chapter 7

829 113 15
                                    

"Aku udah sampai Jakarta, Mas, tenang aja. Nanti kalau sempat aku ketemu Sachi dulu sebelum balik ke Bandung. Mas jaga diri di sana. Seandainya butuh bantuan, Mas bisa chat Genta."

Hegar tersenyum kecil melihat sang mami keluar rumah kemudian menyambutnya.

"Aku tutup dulu, ya, Mas. Assalamu'alaikum."

Setelah sambungan terputus, Helena langsung bersuara, "Siapa, Sayang?"

"Mas Heksa, Mi."

Sang mami langsung diam. Entahlah, kadang ia masih merasa tidak enak jika mendengar nama anak itu. Bukan karena benci atau apa, tetapi merasa bersalah. Helena sudah mengacaukan keluarganya, tetapi Heksa tetap bersikap baik pada putranya bahkan setelah Hegar menjadi alasan mereka ditinggalkan.

Melihat maminya terdiam, Hegar merengkuh tubuh perempuan berjilbab itu, kemudian memeluknya erat. "Mas Heksa baik, Mi. Baik banget. Mami enggak perlu khawatir atau memikirkan apa pun."

Helena melepas pelukan putranya, tersenyum, kemudian mengajak Hegar masuk. Anak itu pasti lelah setelah berkendara jarak jauh.

"Kamu tumben, Nak, pulang enggak ngasih tahu mami?"

"Kakek tiba-tiba minta ketemu, jadi aku pulang mendadak. Sebenarnya besok siang, aku sengaja pulang lebih cepat biar bisa ketemu Mami dulu."

"Udah makan, Nak? Mami siapin, ya? Mau dimasakin apa?"

Hegar menggeleng cepat. Dia yang sudah lebih dulu mengambil posisi duduk di sofa, langsung menepuk tempat kosong di sebelahnya. Beruntung, sang mami langsung peka menuruti permintaannya. Perempuan itu duduk di samping Hegar, kemudian membiarkan putranya merebahkan kepala di pangkuannya. Kadang, hanya dengan cara seperti inilah rasa lelahnya sedikit terobati.

Mau terlihat sehebat apa pun Hegar sekarang, dia hanyalah pemuda berusia dua puluh dua tahun yang membutuhkan banyak perhatian. Sayang, tuntutan pekerjaan dan beban berat yang dihadiahkan sang kakek memaksa mereka hidup berjauhan.

"Capek banget, Nak?"

"Hm. Aku cuma tidur kurang dari tiga jam beberapa hari ini, Mi."

Tangan lembut perempuan itu bergerak mengusap puncak kepala Hegar, merasa bersalah karena sudah membuat Hegar menjalani kehidupan yang sulit dan menyakitkan. Perselingkuhannya dengan Bara saat itu ramai diperbincangkan di mana-mana, terlebih Bara pengusaha besar dan ayahnya pun bukan orang biasa. Bahkan, setelah Helena menikah dengan Mark situasinya tetap tak membaik, justru semakin buruk. Selama hidup, Helena terus panen kecaman.

Hegar pun mengalami kesulitan yang sama. Sejak duduk di bangku sekolah dasar Hegar sudah dijauhi teman-temannya karena orang tua mereka melarang. SMP hingga SMA, perundungan yang diterima putranya semakin keji. Mark juga tidak mau membiayai sekolah putranya sehingga anak itu harus mati-matian mencari uang membiayai sekolahnya sendiri dibantu Helena yang kala itu memilih berjualan online.

Setelah Mark meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas karena mengemudi dalam keadaan mabuk, semua yang tadinya tanggung jawab Mark dibebankan pada Hegar. Kehidupan mereka memang membaik, tak harus pontang-panting mencari uang seperti dulu. Namun, Helena juga tak bisa menutup mata akan beban berat di pundak putranya. Hegar kehilangan masa mudanya, bahkan bersedia melepaskan impiannya karena tanggung jawab besar yang diberikan sang kakek.

"Sayang, besok setelah ketemu kakek kamu, kita kontrol, ya?"

"Enggak usah, Mi. Aku udah enggak apa-apa lagian. Kalau ada apa-apa pun aku kerja di klinik, bisa periksa sendiri."

"Sekarang ada keluhan enggak? Kok badanmu makin kurus?"

"Biasalah, Mi, keluhan sakit lambung apa, sih? Tapi, udah enakan kok. Kemarin kumatnya karena banyak masalah aja di tempat kerja. Sekarang juga enggak tahu ada masalah apa lagi sampai kakek minta ketemu."

Aku Banyak LukanyaМесто, где живут истории. Откройте их для себя