Chapter 16

759 106 11
                                    

Dokter yang bertugas dengan sigap membantu Hegar. Sang dokter sendiri tampak terkejut melihat betapa pucatnya pemuda itu. Kaki dan tangannya pun dingin. Mereka langsung bergerak memeriksa tekanan darah. Tekanan darah hanya berada di kisaran 80/60 mmHg, pulsasi juga lemah.

"Mas, temannya kenapa?"

"Saya enggak tahu, Dok. Mas Hegar ngeluh sakit perut akhir-akhir ini. Kesulitan makan karena setiap makan selalu sakit, mual, atau diare, dan tadi waktu perjalanan ke sini Mas Hegar muntah darah."

Setelah mendapat informasi, dan memastikan infus terpasang, pria berjas putih itu kemudian memberi obat anti perdarahan sembari melakukan observasi lebih lanjut.

"Ta, Hegar gimana?"

Genta merasa lega karena akhirnya Heksa datang. "Belum sadar, Mas."

"Gimana ceritanya? Kenapa bisa begini? Hegar juga kenapa maksain diri banget kalau lagi sakit."

"Banyak masalah, Mas. Pak Marsel minta Mas Hegar buat cek. Sebetulnya, tadi siang aku ke sana, tapi setelah baca laporan, Mas Hegar nyusul ke klinik dan langsung rapat dadakan malamnya. Terus aku tinggal, kan, karena Mas Hegar minta aku buat nganterin Teh Alea. Pas aku balik, lagi meringis-meringis kesakitan. Di jalan muntah, terus ...."

"Terus?"

"Darah, Mas. Yang dimuntahin darah."

Heksa menghela napas. Jika saat ini Hegar dalam keadaan sadar, Heksa pasti sudah mengomel. Namun, melihat kondisi sang adik sekarang membuat kemarahannya menguap. Pemuda itu mendekat, kemudian menyingkirkan helai rambut yang menutupi wajah adiknya.

"Jangan lama-lama tidurnya. Mas gemas pengin ngomelin kamu. Ngeyel banget jadi anak. Enggak habis pikir."

Hati kecilnya bertanya, apakah seperti ini perasaan kembarannya dulu saat Heksa melakukan hal yang sama dengan Hegar sekarang? Hegar gila kerja, sedangkan Heksa melakukan "kenakalan" yang sesungguhnya, bahkan di usia yang masih terbilang muda. Namun, ada sesuatu dalam diri Hegar yang sebenarnya mengingatkan Heksa pada dirinya sendiri juga Reksa. Hegar yang kadang dingin, tampak tidak peduli, tetapi bisa nakal dan menyebalkan di saat bersamaan sebenarnya seperti paduan Reksa dan Heksa. Bukti kuat bahwa mereka benar satu ayah.

"Mas ...."

Heksa refleks menoleh mendengar suara lirih sang adik. "Dek, gimana sekarang? Apa yang sakit?" tanyanya kemudian sembari menggenggam sebelah tangan Hegar yang terbebas dari infus.

Meski tampak jelas kesakitan, Hegar masih berusaha keras tersenyum di depan kakaknya. "Aman, Mas."

Pria dalam balutan kemeja biru navy itu berdecak sebal. "Topengnya lepas dulu. Percuma bohong sekarang. Mas mungkin bisa kamu bohongin, tapi dokter enggak. Badan kamu juga udah enggak bisa bohong lagi. Mulai jujur sama dirimu sendiri. Kalau cewek bisa kuat, cowok juga bisa lemah. Bukti kalau cewek dan cowok itu sama-sama manusia."

"Bawel banget, Mas."

Genta yang sedari tadi diam saja akhirnya ikut misuh-misuh. Mereka semua dibuat jantungan, sementara Hegar sendiri justru terlihat santai.

"Mulai pikirin kondisimu, Dek. Jangan apa-apa, cukup sama kata, ya, udah. Jangan terlalu maksain diri," kata Heksa tegas. "Kamu bisa ikut mas dan berhenti kerja. Kamu masih bisa hidup tanpa kakek kamu."

"Aku enggak maksain, aku ngerasa masih mampu makanya aku lakuin."

Genta menyentuh punggung Heksa, berusaha memberi kode bahwa Hegar mulai tidak nyaman dengan pembicaraan mereka.

Heksa menghela napas. Sepertinya ia hilang kendali saking khawatirnya. Jadi, lelaki itu memilih keluar sebentar, sekadar menenangkan diri, membiarkan Genta menemani Hegar untuk beberapa saat.

Aku Banyak LukanyaWhere stories live. Discover now