Chapter 19

736 111 13
                                    

Alma mulai panik karena semalaman Reksa demam, dan tak kunjung membaik hingga pagi ini. Padahal, ia sudah memberikan obat penurun demam. Namun, suhu tubuh lelaki itu masih bertahan di kisaran 38.9°C.

Mendengar kabar itu, Aulia langsung bergegas ke kamar putranya. "Al, masih belum turun juga demamnya?"

"Belum, Ma."

"Udah minum obat?"

"Udah, Ma. Tiap empat jam minum paracetamol karena dari semalam tinggi banget demamnya."

"Reksa bilang apa sama kamu sayang semalam?"

Alma langsung menggeleng. Ia tidak mungkin mengatakan apa yang dikeluhkan suaminya tadi malam. Semua orang menuntut Reksa untuk menerima, memaafkan, dan melupakan semua yang terjadi, padahal kenangan pahit itu begitu lekat dalam ingatan suaminya. Saat Heksa, mama, dan keluarga mamanya di luar negeri, Reksa tetap di sini seorang diri, mencecap pahit itu sendirian.

Reksa menjadi saksi bagaimana sang papa putus asa, dan semakin hancur setiap harinya karena kepergian Heksa juga penolakan Reksa. Sang kakek memohon agar Reksa mau menemui papanya detik terakhir sebelum menutup mata, tetapi hatinya tetap begitu keras membenci, membuat Reksa menyesal kemudian. Semua benar-benar menyakitkan untuk Reksa.

"Nak, bangun dulu, yuk, makan."

Reksa hanya bergumam tak jelas tanpa membuka mata. Kepalanya begitu pusing dam berat setelah malamnya dihabiskan dengan menangis. Padahal, Reksa bukan tipe orang yang bisa dengan mudah meluapkan perasaannya, tetapi semalam entah mengapa ia merasa begitu sakit. Mereka terlalu fokus pada rasa sakit Hegar, sementara Reksa dibiarkan tersiksa sendirian.

"Coba telepon Dokter Irwan aja, Al."

"Yohan udah di jalan, Ma. Kebetulan jaga sore, jadi pagi ini bisa ke sini."

"Mama merasa bersalah, Al. Harusnya semalam mama enggak bilang apa pun."

"Aku enggak apa-apa, Ma."

Itu bukan suara Alma, Reksa yang menjawab. Reksa tidak mau sang mama merasa sedih dan menyalahkan diri sendiri atas sakitnya Reksa. Padahal mungkin memang Reksa saja yang sudah kelelahan baik fisik maupun mental belakangan ini. Sedikit kekanakan memang, tiba-tiba banyak ketakutan di benaknya. Reksa takut ditinggalkan. Cemas kalau pada akhirnya Heksa lebih memilih Hegar dibanding dirinya. Ketakutan yang tanpa sadar terbentuk sejak Reksa remaja. Melihat bagaimana adik, bahkan keluarga kecilnya seolah dibuang, meninggalkan rasa sakit yang tak bisa didefinisikan.

"Ares mana, Al?" tanya Reksa.

"Ares sama Sachi udah berangkat sekolah diantar Aurora tadi," sahut Alma. Melihat Reksa tak merespons, seolah tahu isi kepala suaminya, Alma kembali bersuara, "Mereka diantar sopir kok. Jangan khawatir, ya."

Heksa menitipkan istri juga anaknya pada mereka, jelas saja Reksa panik. Biasanya Reksa yang mengantar putra juga keponakannya sekolah, tetapi tidak demikian hari ini karena dia tiba-tiba sakit.

Selang sepuluh menit, Yohan akhirnya datang diantar oleh asisten rumah tangga di rumah Reksa.

"Pagi, Tante. Pagi, Al."

"Yohan. Apa kabar, Nak?" "

"Alhamdulillah baik, Tan. Tante apa kabar?"

"Alhamdulillah baik juga. Makasih udah datang, ya, Nak. Tolong diperiksa dulu Reksa kenapa. Itu dari semalam demamnya enggak turun juga," sahut Aulia. "Udah sarapan belum, Nak? Mau sarapan apa?"

"Belum, Tante. Tapi, nanti aja. Enggak usah repot-repot."

"Enggak repot. Tante siapin dulu, ya."

"Makasih, Tante. Maaf banget jadi repot-repot sepagi ini."

Aku Banyak LukanyaWhere stories live. Discover now