Bab 3. Melawan Hasrat

2.1K 109 1
                                    

Sejak berangkat meninggalkan rumah, Adrian tidak banyak bicara. Ia hanya diam selama di perjalanan, duduk di boncengan Armand yang melajukan motornya kencang. Motor trill yang di desain untuk menghadapi jalanan perkebunan itu melesat tanpa hambatan. Sekalipun jalanan yang mereka lalui bukan aspal melainkan tanah merah, namun jalanan itu sangat mulus, keras dan kering dikarenakan musim kemarau.

Adrian memejamkan mata, menghirup segarnya angin yang menyapu wajahnya. Menikmati setiap hembusan yang menenangkan jiwa. Ah ... sudah lama Adrian tidak merasakan ketenangan dan kelegaan seperti saat ini, selama ini ia selalu berteman dengan hiruk pikuk jalanan ibukota. Penyesalan sedikit ia rasakan, seandainya sejak dulu dirinya tidak meninggalkan kampung halamannya, mungkin hidupnya berjalan bahagia.

Motor yang dikendarai Armand menabrak gundukan jalanan yang cukup tinggi, membuat tubuh Adrian sedikit tergoncang, bahkan pantatnya sempat terangkat dari jok, untung saja Adrian sempat berpegangan di pinggang Armand.

"Maaf Dri!" Armand sedikit berteriak, angin seolah mengantarkan suaranya ke telinga Adrian.

"Nggak apa-apa, Man" jawab Adrian berbicara persis di telinga Armand.

Adrian kembali diam. Melepas pegangan tangannya yang seakan memeluk Armand. Adrian fokus menikmati perjalanannya, menghirup sejuknya udara pagi, mengedarkan pandangan matanya ke kiri dan ke kanan, memperhatikan pepohonan rimbun yang tumbuh di tepi jalan. Semua tampak hijau, lagi-lagi membuat Adrian terpukau dengan kesejukan alam di desanya.

Cukup lama perjalanan yang mereka tempuh, Armand berhenti tepat di sebuah kebun yang memiliki pembatas pagar yang terbuat dari papan kayu jati. Pagar itu kokoh, mengitari seluruh area perkebunan itu.

"Ini bukan kebun bapak, kan?" Tanya Adrian turun dari boncengannya.

Armand menggeleng, "bukan. Ini kebun Nenek Halimah, neneknya Arjuna."

"Ah iya. Saya lupa. Kamu pasti tidak kenal Arjuna" lanjut Armand.

Adrian menggeleng, menandakan memang dirinya tidak mengenal Arjuna yang disebut Armand.

"Kalau Galih sama Dirga?" Armand bertanya.

"Galih Gandana dan Dirga Sakti Prawira" Adrian menyebut nama lengkap laki-laki yang disebutkan Armand.

"Berarti kenal" ujar Armand tersenyum.

"Teman sekelas waktu SD. Setelah itu ...."

"Setelah itu kamu pindah ke kota karena mendapat beasiswa dari mulai SMP sampai kuliah" Armand memotong ucapan Adrian, "pak Heru sudah cerita."

Adrian tertunduk sedih mendengar nama ayahnya disebut. Rasa bersalah muncul kembali di hati dan sanubarinya. Seandainya saja Adrian mendengarkan ayahnya untuk tidak perlu berambisi mencari kesuksesan di Ibukota, mungkin Adrian tidak akan kehilangan ayahnya.

Menyadari wajah anak majikannya murung. Armand ikut merasa bersalah, "maaf, saya tidak bermaksud untuk ...."

"Nggak apa-apa" Adrian gantian memotong ucapan Armand, "jadi ... kenapa kita berhenti disini?" Tanya Adrian mengalihkan pembicaraan.

"Apa kamu kuat kalau kita jalan kaki?" Armand balas bertanya.

"Menurut kamu?" Adrian ikut bertanya juga.

Armand mengamati Adrian dari ujung sepatu gunung yang dikenakan Adrian hingga ke topi yang menutupi rambut Adrian. Adrian tampak gagah dibalut kemeja flanel seperti yang Armand pakai, hanya berbeda warna saja, flanel yang dikenakan Adrian berwarna biru tua sedangkan yang Armand kenakan berwarna hitam, ditambah celana cargo dan juga sepatu serta topi yang Adrian pakai, cukup meyakinkan Armand jika Adrian memiliki fisik yang kuat untuk diajak berjalan kaki.

Romance In The VillageWhere stories live. Discover now