Bab 6. Orang-Orang Baru

1.3K 96 9
                                    

Malam tiba menggantikan petang, senja menghilang berpamitan. Sinar surya digantikan sinar rembulan yang penuh, purnama malam itu membuat perkebunan sawit tampak sunyi dan teduh.

Adrian yang kelelahan terbangun dari tidurnya. Setelah mandi sore, Adrian memang langsung merebahkan tubuhnya di dipan, kasur milik Arman ternyata sangat empuk, membuat Adrian terbawa rasa kantuk. Adrian melirik jam tangan yang lupa ia lepaskan, jarum jam tangannya menunjukkan pukul 8 malam.

Adrian menggeliat, ia meregangkan tubuhnya membuat bunyi kretekan sendinya terdengar nyaring dan syahdu, membuat Adrian sedikit lega.

Saat Adrian bangkit dari tidurnya, pintu terbuka. Armand menghampiri dengan mengenakan handuk abu-abu yang menutupi pinggang hingga ke lututnya. Masih ada bekas air yang menetes di tubuh gagah Armand. Armand tersenyum melihat Adrian yang berdiri di samping dipan.

"Kamu ngebiarin saya ketiduran lagi" ucap Adrian memicingkan matanya.

Armand yang tersenyum, memainkan alisnya yang tebal dan hitam, "saya paling tidak tega membangunkan orang yang tidur nyenyak."

"Tapi saya mau ketemu ibu dan ayah kamu, Man. Saya nggak enak belum ketemu mereka."

"Ibu sama ayah sudah ada di bawah, kalau kata Galih lagi BBQ" ujar Armand melangkah menuju lemari dan mengambil baju ganti.

"Maaf, saya nggak bilang kamu dulu kalo saya pake baju kamu" Adrian merasa sedikit sungkan.

"Kamu tidak perlu izin, semua yang ada disini milik kamu" jawab Armand mengenakan pakaiannya membelakangi Adrian, "termasuk saya. Itupun kalau kamu setuju."

Adrian tersenyum simpul mendengar ucapan Armand yang manis. Adrian menganggap itu hanyalah lelucon Armand untuk membuat suasana tidak terlalu kaku dan sedikit mencair.

"Saya bagusnya pakai baju ini atau yang ini, Dri?" Tanya Armand menunjukkan dua baju kaos yang sama hanya berbeda warna saja, di tangan kanannya kaos berwarna hitam sedangkan di tangan kirinya kaos berwarna abu-abu.

"Nggak perlu pakai baju" jawab Adrian asal bicara.

"Oke kalau begitu, ayo kita turun" ucap Armand terlihat serius.

"Saya bercanda, Man. Kamu pakai apa aja nggak ada bedanya, emang dasarnya ganteng mau diapain juga tetep ganteng" ujar Adrian tanpa sadar menorehkan pujian pada Armand.

"Apa iya saya ganteng" Armand menggumam.

Emang Ganteng Banget!

Adrian menjawab gumaman Armand di dalam hati. Adrian jujur mengakui, secara perawakan tubuh Armand jika dibandingkan Arjuna, Armand memang kalah, tapi ada aura sendiri yang dimiliki Armand, aura yang terpancar dari ketulusan serta kebaikan hati yang ia miliki dan juga ada daya tarik lain yang tidak Adrian pahami. Di mata Adrian, Armand memang lebih menarik dibanding tiga temannya yang lain, Armand seakan memiliki daya magnet yang bisa memikat Adrian. Itulah penyebab Adrian tak mau berlama-lama menatap Armand, terlebih Adrian sendiri sudah merasakan hangatnya dipeluk Armand.

"Ayo! Kita turun. Ayah sama Ibu sudah tidak sabar ketemu kamu" ajak Armand yang sudah siap dengan mengenakan baju kaos yang pas di tubuhnya serta celana berbahan parasut seperti celana training panjang.

Adrian mengikuti langkah Armand, berjalan keluar, lalu menuruni anak tangga. Dibawah sana sudah berkumpul Galih, Dirga, Arjuna serta kedua orang tua Armand.

Galih dan Dirga tampak kompak berkutat dengan perapian kecil, kedua pemuda sebaya dengan Adrian itu paling bersemangat memanggang ayam dan juga ikan yang sudah mereka lumuri bumbu. Arjuna sibuk menghibur dengan gitar yang ia petik, ia bernyanyi pelan sambil mencari-cari kunci nada yang pas untuknya. Sedangkan kedua orang tua Armand terlihat sibuk merapikan peralatan makanan di atas meja panjang untuk tempat makanan yang sudah matang.

Romance In The VillageWhere stories live. Discover now