Bab 21. Nyata Yang Sesungguhnya

707 51 3
                                    

Ini sudah hari ketujuh dimana Armand dikurung di dalam ruang ICU, tubuhnya masih terikat di ranjang seolah Armand adalah pasien rumah sakit jiwa yang bisa kambuh untuk berbuat onar, padahal Armand sama sekali tidak meronta-ronta dan membuat kegaduhan untuk meminta dilepaskan.

Armand hanya memandang langit-langit kamar dengan mata yang seolah berbicara, meluapkan kesedihan dengan air mata yang terkadang menitik dari bola matanya yang tajam. Armand terlihat sangat pasrah dengan apa yang dialaminya.

"Adrian, kita pasti bisa melewati semua ini."

Di pikiran Armand memang hanya ada Adrian, ia sangat ingin mengetahui keadaan Adrian, namun sayang, hingga detik ini Armand belum bisa melihat keadaan Adrian.

Sungguh Armand sangat merindukan laki laki itu, laki laki yang sejak dulu membuatnya jatuh cinta tanpa pernah bertemu dengan. Armand teringat akan pak Heru yang selalu memperlihatkan foto dan menceritakan tentang sosok Adrian sehingga Armand mengagumi Adrian. Sudah begitu lama ia memendam cinta kepada Adrian sekalipun banyak perempuan di sekolah yang berusaha mencari perhatian Armand namun Armand sama sekali tidak tertarik. Armand hanya menginginkan Adrian, menunggu kedatangan Adrian, perasaan itu terus ia jaga hingga akhirnya takdir mempertemukan Armand dengan Adrian.

Armand kembali mengingat kenangan saat cintanya berbalas, cinta yang membuat Armand merasa ia adalah laki-laki yang paling bahagia, namun seketika, cintanya harus direnggut, bergantikan kesedihan yang amat sangat ia rasakan.

Armand masih melamunkan kesedihannya, ia tak menyadari ada tiga sosok yang masuk ke dalam ruangannya. Tiga sosok orang tua yang sangat ia hormati berjalan menghampiri Armand.

Pak Santo dan Bu Asri, mereka duduk di sofa yang ada di samping ranjang, sedangkan Bu Fatma mengambil kursi kecil dan meletakkannya dekat sekali dengan tempat Armand terbaring. Sorot kesedihan dan rasa kecewa jelas tersirat dari wajah Bu Fatma, tapi tetap saja dibalik kekecewaan dan rasa sedih itu, rasa kasih sayang yang besar bisa ditangkap dari gerakan Bu Fatma yang membelai rambut Armand.

"Ibu tahu, kamu sudah dewasa untuk mengerti semua ini, Man" Bu Fatma memulai percakapan, tangannya membelai rambut Armand dengan gerakan mengiris lembut, bulir air mata kembali menetes membasahi pipi Bu Fatma, "ibu tidak mengutuk orientasi seksual yang anak-anak ibu miliki, kamu dan Adrian bebas mencintai siapa saja yang kalian merasa nyaman untuk diberi cinta, kalian bebas melabuhkan hati kalian kemanapun yang kalian inginkan. Ibu sama sekali tidak keberatan, Man."

"Kalau memang Ibu tidak keberatan, kalian semestinya tidak melakukan ini kepada saya, biarkan saya pergi membawa Adrian" sahut Armand tanpa melihat sedikitpun raut kesedihan di wajah Bu Fatma.

"Sudah saatnya kamu tahu, Man" ucap Bu Fatma membelai wajah Armand dengan derai air mata, "kamu dan Adrian tidak boleh meneruskan perasaan kalian. Kamu dan Adrian tidak boleh melakukannya, Man."

"Ibu benar, sudah saatnya saya tahu diri kalau derajat saya dan Adrian itu berbeda" ujar Armand memalingkan wajahnya dari sentuhan jemari Bu Fatma, "saya hanyalah anak pembantu yang mencintai anak majikannya."

"Tidak Man, ibu tidak pernah berpikir sedikitpun tentang kedudukan ataupun pangkat seseorang, siapapun berhak mencintai Adrian. Adrian juga berhak mencintai orang yang ingin dia cintai."

"Jadi saya adalah pengecualian, Adrian berhak mencintai orang yang ingin dia cintai kecuali saya" sindir Armand  dengan kelopak mata terpejam, setitik air mata kembali jatuh dari kedua kelopaknya.

"Tidak. Bukan itu alasannya, Man" Bu Fatma menggelengkan kepalanya.

"Lantas apa alasan yang bisa saya terima Bu? agar saya bisa menjauh dari hidup Adrian" Tanya Armand tak sedikitpun mengubah arah pandangannya untuk melirik Bu Fatma barang sedikit saja, "kalau ibu tidak punya alasan, saya juga tidak punya alasan untuk tidak mencintai Adrian."

Romance In The VillageWhere stories live. Discover now