Bab 9. Keyakinan Yang Membuat Mudah

1.4K 98 7
                                    

"Bu ... air showernya mati lagi, sekalian ambilin handuk Adrian."

Seakan dejavu, Armand yang kala itu sedang menunggu Adrian untuk mengajak anak majikannya itu ke kebun, mendengar teriakan Adrian dari kamar mandi, sama seperti awal mereka bertemu. Tapi kali ini Armand lebih berani.

Armand mengambil handuk yang berbeda, ia sudah tahu handuk Adrian yang di jemur di perkarangan rumah. Armand membawa handuk, berjalan menuju kamar mandi yang ada di ruangan belakang. Seperti sebelumnya yang Armand lakukan, Armand mengetuk pintu kamar mandi sebanyak tiga kali.

Adrian membuka sedikit pintu, pemandangan yang sama seperti yang pernah terjadi. Armand melihat jelas bagian belakang tubuh Adrian yang telanjang bulat dari pantulan cermin besar di depannya. Namun kali ini berbeda, Armand terpana dengan detak jantung yang kian bergemuruh. Tangannya gemetar memberikan handuk milik Adrian. Tak hanya tangannya yang gemetar, selangkangannya juga ikut bergetar.

"Makasih, Bu" ujar Adrian yang memejamkan mata dengan busa shampoo di sekujur rambut hingga jatuh ke wajahnya.

"Kebiasaan" cibir Armand berusaha menetralkan detak jantungnya.

"Armand" lirih Adrian, "makasih, Man."

"Sama-sama" balas Armand masih memandangi lekuk tubuh Adrian yang memantul di cermin itu.

Adrian menutup pintu kamar mandi, sedangkan Armand terlihat kecewa harus kehilangan pemandangan yang indah bagi matanya.

"Bodoh!" Umpat Armand menyentil penisnya yang tidak bisa diajak kerjasama, bisa-bisanya penis Armand mengembung hanya karena melihat kemolekan pantat Adrian.

Armand menunggu lagi di ruang tamu, ia menyeruput kopinya. Tak berselang lama, Adrian muncul dari ruang belakang menuju ke kamarnya.

"Saya ganti baju dulu, Man" ujar Adrian menarik tuas pintu kamarnya.

"Saya ikut" gurau Armand.

"Ada-ada aja" sahut Adrian menutup pintu kamar.

Melihat sikap Adrian yang terlihat biasa saja, hati Armand sedikit bimbang, nyalinya ciut. Rasa takut dan khawatir muncul di dalam hatinya, khawatir jika Adrian tidak sama sepertinya, takut jika Adrian akan menjauhinya. Tapi Armand sudah bertekad akan menyatakan cintanya.

Armand bersandar di sofa, menatap dinding yang ada di depannya. Terlihat bingkai besar yang terpajang dengan foto Adrian saat wisuda, Pak Heru dan juga Bu Fatma ada di dalam foto itu mendampingi Adrian. Di foto yang Armand perhatikan, Adrian masih kurus, wajahnya menggemaskan dengan sorot mata yang teduh, sangat kontras berbeda dengan Adrian yang saat ini memiliki tubuh gagah dan raut wajah yang lebih tegas karena melewati berbagai masalah.

Apa masalah hidup berefek pada bentuk wajah. Armand sendiri tidak tahu, namun yang pasti wajah dan tubuh Adrian boleh berubah tapi tidak dengan rasa kagum yang tumbuh menjadi cinta di hati Armand, perasaannya tetap sama.

Armand tersenyum tipis, terlihat hampir tertawa. Bisa-bisanya Armand mencintai Adrian tanpa pernah bertemu sebelumnya. Bisa-bisanya Armand mencintai Adrian hanya dari cerita pak Heru. Bisa-bisanya juga Armand mencintai seorang pria.

Masalah hati, memang sulit untuk dimengerti.

"Sudah siap?" Tanya Adrian membuyarkan lamunan Armand.

"Ah ... iya, siap" jawab Armand yang masih duduk di kursi.

Adrian tampak gagah dengan celana cargo dan kemeja flanel berwarna hitam yang ia kenakan. Tak lupa topi koboy favoritnya bertengger di atas kepala, juga tas gendong di punggungnya. Di tangannya juga memegang senapan angin yang ia selempangkan di bahu kanan.

Romance In The VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang