DUA PULUH EMPAT

500 20 0
                                    

Jam pulang sekolah telah terdengar, Dande sudah bersiap dengan tas miliknya. Kelas telah kosong karena ia ketiduran di jam terakhir pelajaran.

Masih ada beberapa kelas yang belajar dan juga sudah kosong. Sebelum ia ke parkiran langkahnya ia arahkan ke kantin sekolah, hendak membeli sesuatu tapi hal yang sudah lama tidak lihat kembali terjadi di depannya.

Higan memalak gadis seangkatannya yang hendak juga ke kantin. Dari rok gadis itu terlihat ada sedikit warna merah disana dibagian belakang. Kemungkinan gadis itu hendak membeli pembalut tapi di cegat oleh Higan.

"Bagi duit dong. Gue laper nih." ujarnya santai.

"Aku gak ada uang." balasnya mengeratkan genggamnya pada tali tas.

"Gue tau lo bohong, mata lo kesana kemari."

"Sini tas lo sekarang!" bentak Higan merampas tas gadis itu kasar. Mendorong gadis itu sedikit keras menabrak tembok dibelakangnya.

Dengan segera ia membongkar isi tas itu mencari apa yang ia bilang tadi, setelah dapat ia melemparkannya kembali pada gadis itu kemudian pergi dengan wajah senang.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya keras, menahan tangis yang akan pecah. Dande hanya diam menatap lalu berjalan seolah tidak melihat apapun, sewaktu melintasi gadis itu langkah terhenti. Ia menoleh kearah gadis yang menarik bajunya pelan.

"Aku tau kamu liat semuanya." katanya pelan menunduk kepala yang ia angkat perlahan menatap wajah manis Dande.

"Gak papa juga kalo kamu mau nyebarin aku gak masalah, tapi bisakah aku minta tolong. Bisakah kamu beliin gue pembalut."

Si gadis langsung menepuk mulutnya pelan. "Akh! Maaf aku bicara tak s-"

"Yang mana?"

"Ha?"

"Pembalut yang mana, gue agak hafal soalnya. Walaupun gue nakal tapi gue gak pernah main cewek apalagi bully orang. Itu bukan gaya gue." ujar Dande menatap mata gadis itu datar.

"Yang tidak ada sayapnya. 350 cm." senyum mulai mengembang sedikit pada gadis itu. Dande akui, gadis itu cantik tapi tertutupi oleh rasa insecure yang ada. Ia akan cantik jika ada sedikit saja rasa percaya diri.

"Ok, lo tunggu disini. Jangan kemana-mana." setelahnya ia melanjutkan langkahnya ke kantin.

Gadis itu memilin ujung rambutnya yang ia biarkan tergerai agar menutupi wajahnya. Sambil menunggu Dande kembali ia bersenandung pelan.

"Suara lo bagus. Lo berbakat jadi penyanyi." suara Dande mengagetkannya.

Dengan malu ia tersenyum. "Makasih. Suara kamu juga bagus waktu acara ulang tahun sekolah, aku agak tau sedikit makna dari lagu yang kamu nyanyikan."

"Itu buat sahabat gue. Dia bunuh diri karena dibully, jadi gue sarani jika lo dibully di sekolah atau luar lo harus tatap matanya lalu katakan sesuatu yang pedas. Dan tak lama lo gak akan di bully karena udah gak asik buat dimainkan."

Dande pergi setelah mengucapkan kalimat itu, sebotol minuman dingin ditangan hanya itu yang ia beli dan juga pembalut pesanan gadis tadi.

Bagaimana ia tau soal berbagai macam merek pembalut dan ukurannya, itu karena Daisy yang selalu menyuruh jika gadis itu datang bulan, lambat-laun ia jadi mengerti sendiri.

Meneguk air sedikit langkahnya menggema di koridor kosong. Di sana ia bisa melihat Higan bersandar santai pada tembok dengan sebatang rokok ditangannya. Seringainya terlihat pada bibir agak hitam miliknya.

"Gue tau lo lihat hal yang tadi, gimana rasanya melihat kembali." suara serak Higan terdengar menjengkelkan ditelinga Dande yang mendegus melewati Higan.

MINE DANDELIONWhere stories live. Discover now