16

1.7K 246 82
                                    

____________________

Satu emosi yang mencerminkan keburukan, namun di satu sisi, bermakna berbeda.

____________________

.

.

.

--- K A L O P S I A ---

.

.

.

Hinata sedang kelimpungan. Ia baru mengecek ponsel pagi tadi dan terkejut mendapati pesan dari Toneri yang mengabarkan ada rapat penting pagi ini.

Berita yang begitu mendadak dan dikabarkan pula dengan cara mendadak. Sayangnya, Hinata tidak tahu jika pesan itu sudah masuk ke ponselnya. Dia tertidur cepat malam kemarin. Bahkan sampai tidak sadar bila sudah terlelap hingga dini hari di ruang tv dan baru pindah ke kamar saat itu.

Saat bangun pagi tadi, Hinata baru membuka ponsel. Dan inilah yang terjadi. Ia sangat terkejut serta bergerak secara terburu-buru untuk bersiap.

Pakaian yang dikenakan hanya diambil secara sembarangan. Wajahnya pun hanya dipoles seadanya agar tetap segar dan tidak tampak terlalu polos. Ia meraih tas miliknya. Sesekali mengecek jam untuk melihat apakah ia akan tetap sampai tepat waktu atau tidak.

Hinata masih punya malu apabila nanti mendapatkan amarah jika terlambat.

Dengan sepatu yang masih berada di tangan, ia berjalan keluar kamar. Hinata memekik kaget ketika akan menuju ruang tengah, sebab dirinya hampir saja saling bertabrakan dengan Naruto.

Hinata menghela napas pelan. Ia melirik singkat pada si pria, lalu lanjut mendudukan diri di sofa dan mengenakan sepatu. Dirinya juga mengecek isi tas, ingin memastikan keperluan penting seperti ID card dan lain-lainnya sudah ada di dalam sana.

Dan segala kepanikan itu tertangkap jelas oleh Naruto. Matanya mengikuti ke mana pun Hinata berjalan, dan sedikit memberi reaksi ketika Hinata merintih. Lututnya terbentur. Ia sempat oleng karena berjalan terlalu cepat dengan sepatu berhak.

"Akh, sakit," Hinata meringis. Ia kembali mengambil duduk dan mengelus pelan permukaan kulitnya yang terasa sakit. "Aku bisa terlambat kalau begini."

"Bangunlah. Akan kuantar."

Hinata tersentak pelan. Ia seketika mendongak. Naruto sudah berada di depannya dan menatap seakan menunggu.

"Cepatlah."

Tawaran yang menggiurkan dalam masa-masa kritis. Tetapi, Hinata tidak berniat menyanggupinya.

"Tidak usah. Aku bisa naik taksi."

"Kau harus tahu jika menunggu taksi masih akan membuang waktu."

Pelan, Hinata menggigit bibir bawah. Sekali lagi, matanya melirik ke arah jam. Nahas, waktu memang tidak bisa diajak kompromi.

Naruto benar, namun, Hinata terlalu ragu untuk ikut bersamanya.

"Kita hanya semobil bersama. Apa yang salah dengan itu? Cepatlah. Aku juga harus pergi bekerja."

Akhirnya, Hinata tidak punya pilihan. Keadaan sudah menghimpitnya. Tidak ada cara lain untuk tetap meninggikan ego saat ini.

Alhasil, ia mengikuti si pria. Naruto mengemudikan kendaraan dengan kelajuan normal. Sesekali, ia melirik pada Hinata yang hanya diam di sebelahnya.

Kalopsia [ NaruHina ] ✔Where stories live. Discover now