35

1.6K 236 56
                                    

.

.

--- K A L O P S I A ---

.

Happy Reading

.

.


Akibat kejadian beberapa saat lalu, Boruto menjadi tidak mau lepas dari Naruto.

Mereka sudah berada di belakang panggung, bahkan acara pentas seninya sudah mencapai penyelesaian.

Namun sampai sekarang, Boruto terus bersikeras tidak mau beranjak dari gendongan si pria dewasa.

Padahal, gurunya sudah berkata bila semua baik-baik saja, tak ada yang perlu ditangisi lagi, dan Boruto sangat keren saat menjadi pangeran. Tetapi, tetap saja, semua itu tidak berhasil membuat sang balita terhibur.

"Boruto, kita sudah mau pulang," Hinata mencoba berkata lembut. Berusaha agar ucapannya tidak membuat suasana hati sang putra menjadi semakin buruk.

Tetapi, Boruto malah sengaja menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Naruto. Ia tak mau menurut.

"Kuantar kalian pulang."

"Tidak perlu. Boruto, kita sudah--"

"Mau pulang dengan Ayah," bisikan sang anak membuat Hinata terdiam.

Pelan, Naruto memberi usapan pada punggung kecil dalam pelukannya.

Tak dapat dipungkiri, entah Naruto harus merasa bersyukur atau apa pun itu, namun, karena insiden saat pentas tadi, Boruto menjadi terus menyebutnya dengan panggilan yang sama; Ayah. Tidak berubah.

Hati Naruto begitu hangat.

Jadi, begini rasanya memiliki seorang anak?

Dulu, Naruto pernah mendengar bibi Hinata -- Natsu -- berkata;"Menjadi orangtua itu membanggakan."

Dan Naruto tidak tahu bila sensasinya akan sehebat ini.

"Aku mau bersama Ayah," kalimat Boruto yang kembali terdengar, membuat Hinata hanya bisa menarik napas.

Tidak ada jalan lain. Kalau begini keadaannya, sudah jelas bila Boruto akan tetap berteguh pada keinginannya.

Hinata pasrah. Setidaknya, Naruto hanya perlu mengantar mereka pulang seperti keinginan Boruto.

Selama dalam perjalanan, keadaan hanya diisi oleh kebisuan. Tak sekalipun ada obrolan terjadi antara dua dewasa dalam kendaraan.

Boruto pun tidak banyak bertingkah. Dia hanya diam.

Hinata tidak tahu, apakah Boruto memang sebegitu malunya, atau memang karena dia sudah merasa terlalu nyaman, namun saat Naruto harus menyetir, si balita tetap tidak ingin berpindah ke tempat lain, bahkan pada ibunya sekalipun.

Ia sudah seperti anak koala. Memeluk rusuk ayahnya begitu erat, namun lensa samudranya terus tertuju memandangi sang ibu. Mata Boruto masih sembab karena banyak menangis.

"Boruto, sini, pindah pada Ibu."

Namun, Boruto memilih memendamkan wajah pada dada Naruto.

"Biarkan saja," Naruto berkata.

"Dia bisa mengganggumu menyetir."

"Tidak sama sekali."

Hinata terdiam. Pandangannya kini diarahkan pada jalanan depan.

Kalopsia [ NaruHina ] ✔Where stories live. Discover now