Chapter 44

40.6K 4K 3.9K
                                    

P E M B U K A


Kasih emot dulu buat chapter ini

***



Dalam kurun waktu dua tahun ini, Jiro sudah pernah dihadapkan dengan berbagai jenis raut muka yang menggambarkan bagaimana marahnya seorang Nawasena Manggala. Dan kemarahan yang ditunjukkan hari ini adalah paling mengerikan menurut versinya.

Wajah pria itu sepenuhnya mengeras dengan sepasang mata memerah, dipertegas oleh alis tebal yang menukik tajam, serta garis bibir membentuk garis lurus, sukses membuatnya tak berani berkutik. Begitu juga dengan orang-orang sekitar ketika Manggala melewatinya. Mereka hanya bisa menunduk dalam-dalam, meremas jari kuat saat merapalkan mantra dalam hati, agar tak melakukan hal yang bisa saja menjadi peledak kemarahan bos besar. Sekadar melakukan kontak mata saja mereka tidak ada nyali untuk itu. Aura pekat nan mencekam yang dibawa Manggala berhasil mengintimidasi semua orang.

Tak terkecuali Jiro.

Mulanya ia memiliki sedikit keberanian yang disiapkan untuk memberi penjelasan tentang kekacauan Shankara, namun sudah tergerus habis. Pria itu berdiri di hadapan sang atasan hanya untuk menunjukkan tampang bodoh serta raut ketakutan. Kalimat yang disusun selama menunggu Manggala datang, pun tak ada yang keluar. Semua tercekat di tenggorokan.

"Mana Shankara?"
Pertanyaan itu dilayangkan dengan nada rendah. Namun dengan tidak meninggikan suara seperti itu, justru membuat Manggala terlihat semakin mengerikan di mata para bawahannya.

Jiro remat kuat jemarinya guna kumpulkan keberanian. Keberanian itulah yang membuatnya perlahan mengangkat dagu hingga bertemu pandang dengan si bos besar. "Ada di ruangan Pak Gala. Saya—"

Manggala melewatinya begitu saja. Buang waktu terlalu banyak kalau harus menunggu Jiro yang bicara terbata-bata selesai bicara. Di depan pintu berwarna abu-abu tua, tungkai panjangnya berhenti terayun. Selama beberapa saat, pria itu hanya diam dengan tangan terkepal kuat.
Lalu secara tiba-tiba, kaki kanannya terangkat. Mendobrak pintu dengan tenaga penuh hingga terbuka paksa. Persetan kalau tindakannya bisa saja membuat pintu rusak. Stok sabar untuk orang-orang yang terus saja mengusik kehidupannya sudah habis. Manggala sudah berada di fase muak. Kesabarannya selama ini justru membuat mereka semakin semena. 

"Wow, primitif!" cemooh pria yang duduk di kursi kebesaran Manggala dengan tampang pongah. Kedua kaki  bertengger di meja, sementara tangan terlipat rapi di dada. Pria itu gerakkan pelan ke kanan-kiri kursi putar tempatnya duduk. Pandangi kaki saudara tirinya yang datang membawa amarah, juga terus menunjukkan raut tak bersahabat . Kontras sekali dengan raut tenang berhias senyum yang ia gunakan untuk menyambut kedatangan tidak sopan sang kakak. 
"Nggak sakit tuh kaki habis buat dobrak pintu? Perlu gue panggil dokter buat periksa, nggak? Sebagai saudara yang baik, gue sedikit khawatir. Takut kakak gue kenapa-kenapa," ungkapnya sengaja dibuat sedramatis mungkin dengan harap Manggala semakin emosi. Karena itulah tujuan utamanya.

Naughty NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang