Chapter 53

42.1K 3.8K 3.5K
                                    

P E M B U K A

Kasih emot dulu buat chapter terakhir di tahun 2023 😬

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kasih emot dulu buat chapter terakhir di tahun 2023 😬

•••

Ayah mana yang tidak panik sebagaimana Manggala saat ini, ketika mendengar kabar anaknya sedang mendapat penanganan di UGD? Sekalipun Jiro sudah menjelaskan singkat kalau Askara hanya mengalami luka ringan—di bagian siku dan pelipis—sekaligus memintanya untuk tenang karena Askara pun sudah berhasil ditenangkan, nyatanya Manggala tetap tidak bisa mengontrol diri. Ada ketakutan yang sangat besar dalam dirinya. Buatnya tak bisa memikirkan apa-apa lagi selain Askara.

Baginya, luka sekecil apapun tetaplah luka yang membuat anaknya kesakitan. Manggala terlalu sensitif jika menyangkut rasa sakit anak-anaknya. Benci sekali dengan situasi semacam ini, yang mana membuatnya merasa gagal, juga tak becus menjadi seorang ayah. Terlebih itu terjadi ketika ia sedang tidak berada di dekat anaknya—tidak bisa memeluk, menenangkan, atau paling tidak menemani untuk menunjukkan kalau ia tidak akan membiarkan anak-anaknya melewati masa sulit sendirian.

Manggala berusaha keras memaksa diri agar tetap waras. Sebab itulah ia meminta salah satu karyawan untuk mengantarkannya dan Kala ke rumah sakit yang Jiro maksud. Dengan kondisinya sekarang, terlalu riskan berkendara sendiri. Manggala tidak mau terjadi sesuatu padanya karena ada keharusan merawat Askara. 
Bukan itu saja, ia juga meminta seseorang ke rumahnya guna mengambil boneka kelinci yang sudah selayaknya obat bagi Askara. Itu bukan sembarangan boneka. Meski bentuknya sudah sangat menyedihkan, tapi pengaruhnya untuk Askara masih sama seperti dulu.

"Papi tenang, okay? Om Jiro, kan, udah bilang kalau luka Askara nggak terlalu parah," kata Kala. Bukan hanya adiknya yang membuatnya khawatir, kondisi papi bahkan bisa dibilang jauh lebih mengkhawatirkan. Reaksinya masih sama berlebihannya, seperti saat dulu ia memberi kabar kalau dirinya kecelakaan sepulang sekolah.

Kala ingat sekali, papi yang terlihat tenang sewaktu datang menemuinya, berubah menjadi menjadi sangat menyedihkan ketika meminta waktu untuk sendiri. Dulu, diam-diam ia saksikan bagaimana papi berusaha keras untuk tidak mengeluarkan suara tangis dan berhenti menyalahkan diri sendiri. Yang Kala tahu, papinya itu kuat—sangat kuat, namun menjadi lemah ketika terjadi hal buruk pada anak-anaknya.

Sekali lagi, Kala seka peluh yang membanjiri wajah tegang Manggala. Coba tenangkan lewat genggaman, juga diikuti gerakan mengusap dada papinya yang masih diam saja dengan tatapan kosong ke depan—sejak mobil melaju dengan kecepatan penuh. Bisa ia rasakan bagaimana detak menggila jantung sang papi. Juga tarikan napasnya yang kadang tersengal. Dari tarikan napasnya, Kala bisa bayangkan bagaimana sesak di dada pria yang duduk di sampingnya. Pasti sulit sekali untuk papi melewati ini.

"Papi minum dulu, ya?"
Kala mengangsurkan botol mineral yang sudah dibuka segelnya.

Manggala menerimanya, namun tak segera meneguk isinya. Sempat meremat botol plastik itu cukup kuat, sebelum akhirnya rematannya melonggar, saat sadar sebagian air tumpah membasahi kemeja dan celana bahannya.

Naughty NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang