Chapter 58

36.4K 3.2K 1.8K
                                    

P E M B U K A

Kasih emot dulu buat chapter ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kasih emot dulu buat chapter ini

Lama updatenya, ya?
Soalnya akutuh nunggu chapter sebelumnya minimal tembus seribu komentar, ternyata nggak tembus-tembus, dan nggak kerasa udah hampir seminggu.

***

Askara tepuk-tepuk pundak papi. Sampaikan isyarat agar pria itu lekas menyingkirkan tangan dari perempuan yang membungkuk berusaha mengeluarkan isi perut. Dengan begitu ia bisa menggantikan perannya. Memijat tengkuk Mamiw Pio supaya nanti mendapat banyak sekali pujian, sekaligus mempertahankan posisi sebagai juara satu. Manggala yang berada di fase malas berdebat dengan Askara si bocah menyebalkan, sekaligus menghindari sesi tantrum bocah itu, pun memilih mengalah. Segera ia tarik tangannya dan biarkan anak bungsunya yang belakangan ini super rewel itu mengambil peran.

Askara merengut tidak suka.
Bibir mungilnya mengerucut dan bergerak cepat. Selain titit, ternyata tangannya juga kalah. Lebih pendek dan tak sepanjang milik papi. Bocah itu terheran-heran. Mengapa fisik papi selalu unggul darinya. Dan fakta menjengkelkan itu membuatnya menggeram kesal. Sebab tangan pendeknya tak bisa menjangkau sampai ke tengkuk Mamiw Pio. Ditambah papi yang menggendongnya tak ada inisiatif melakukan sesuatu—seolah-olah memang sengaja diam saja karena menganggapnya musuh yang tak perlu dibantu—menambah rasa jengkelnya.

"Papi ...." Ia merengek pelan. Menarik-narik kerah kemeja papi, sementara tangan satunya masih berusaha menjangkau tengkuk Viola. Kakinya yang menjuntai pun ikut andil. Diayunkan tak beraturan sebagai pendorong supaya papi segera mengambil tindakan. Tak dapati respons berarti, Askara yang tak sabaran itu pun menghela napas. "Papi, kalau ada orang kesusahan itu harus dibantu," sambung si bocah sok tua—menggurui papinya yang tak mau menolong sesama.

"Iya, Mas Askara," balas Manggala dengan nada malas, kemudian mencondongkan badan. Mendekatkan si tuyul magang dalam gendongannya ke Viola. Baru setelah ada campur tangannya, Askara bisa menggapai tengkuk maminya. Dan itu berhasil mengubah bibir yang semula mengerucut menyerupai paruh bebek, menjadi senyum lebar.

Hoeeek hoeeek.

"Mamiw Pio semangat, ya, hoek-hoeknya. Aku pijat-pijat supaya cepat keluar," kata Askara begitu jari-jari gempalnya mulai menekan-nekan tengkuk Viola. Tak lebih dari sepuluh detik melakukannya, maminya sudah tak mengeluarkan suara. Hanya terdengar suara aliran air yang digunakan untuk membasuh area mulut dan sekitarnya.

"Kamu nggak papa?"
"Mamiw Pio tidak apa-apa?"

Tak ada yang memberi komando, namun sepasang ayah dan anak itu kompak menanyakan hal sama pada Viola—begitu perempuan itu balik badan.

"Aku nggak papa kok, Mas."

Sama-sama dipanggil mas, tapi Askara yakin kalau mas yang dimaksud Mamiw Pio barusan adalah Mas Gala—papinya. Tampak jelas dari tatapan yang terus tertuju pada papi. Hal itu lah yang menjadi bahan bakar api kecemburuannya. Terlebih saat satu tangan papi terulur menyentuh wajah mami. Disusul gerakan mami menangkup punggung tangan papi yang masih menempel di pipi. Bukan hanya perihal tangan yang saling menempel dan pergerakan-pergerakan kecil yang tertangkap netranya, tapi juga soal kilau cincin yang tersemat di jari papi dan Mamiw Pio.

Naughty NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang