Chapter 62

48.6K 3.3K 894
                                    

P E M B U K A

Kasih emot dulu buat chapter ini

***

Pagi Viola selalu diawali dengan senyuman, sebab tak lama lagi—setelah LDR beberapa jam lantaran tidak diperbolehkan sering-sering menginap—akhirnya bisa bertemu juga dengan duda yang selalu ia rindukan itu. Sudah menjadi pecandu berat seorang Manggala dan khawatir akan sakau kalau tidak segera melihat paras tampannya, mendengar suara serak-serak basahnya, serta menyentuh jambang kasar yang kerap buat geli-geli basah; maka tak ada lagi sesi malas-malasan. Viola langsung pergi mandi tanpa memeriksa ponsel terlebih dahulu. Padahal sebelum menjadi seorang pecandu duda anak dua itu, ia tanpa sadar sering kali habiskan waktu berjam-jam hanya untuk bermain ponsel.

Lantaran sudah mendapat sertifikasi cantik dari Manggala dan sudah teruji di setiap kondisi, maka Viola tak pernah ribet lagi soal penampilan. Sebab itulah, ia tak butuh waktu banyak untuk bersiap. Tak lebih dari setengah jam—terhitung sejak selesai mandi—perempuan kemayu itu sudah ayunkan tungkai indahnya yang dibalut skinny jeans dan ankle boots, menuju ruang keluarga.

"Selamat pagi Papa, Mama!" sapa Viola dengan suara lantang, begitu membungkuk di belakang sofa yang diduduki orangtuanya. Ulahnya ini sukses membuat mereka terkejut dan kompak menoleh ke belakang dengan wajah bersungut-sunggut.

Saat itulah Viola curi start duluan. Ia cium masing-masing pipi mereka—sebagai penawar kesal—sebelum akhirnya memanjat sofa. Padahal ada cara lebih mudah untuknya bisa duduk di sana. Tapi bukan Viola namanya kalau tidak mempersulit diri. Sudah dihadapkan dengan kesulitan sulit, kena tabok mama pula. Dan papa yang biasanya legawa akan segala kelakuannya, mendadak beri jeweran. Pelan, tapi reaksinya memang sengaja dibuat dramatis. Terinspirasi dari si tuyul magang.

"Jangan-jangan kamu di rumah Manggala kelakuannya juga kayak tadi?" tuduh Devano setelah julurkan lengan ke bahu Viola. Ini adalah gerakan otomatis yang dilakukan ketika putrinya menyandarkan kepala di dadanya. "Awas, ya, Pio kalau malu-maluin Papa."

"Nggak, Pa. Pio mana pernah begitu-begitu di rumah Mas Gala. Papa, nih, nggak pernah berubah dari dulu. Suka banget nuduh Pio yang nggak-nggak."

"Yaaa kelakuan kamu di rumah aja sebegajulan ini, gimana Papa nggak curiga coba? Pokoknya nanti Papa bakal tanyain ke Gala langsung. Awas aja kalau kamu ketahuan bohong, ya, Pio. Papa ketekin kamu sampe pingsan."

Spontan Viola tegakkan punggung. Buang lengan papa yang mulanya dipeluk, kemudian pindah ke kubu mama. Cari perlindungan di sana.  "Mamaaa, suaminya tuh! Jual aja sekandang-kandangnya. Rese banget! Masa anak kesayangan Mama ini mau diketekin sampe pingsan," adunya dengan rengekan manja.

"Pio maksudnya apa, ya?!" omel Devano tak sungguh-sungguh dengan kemarahannya. Bantal sofa di tangan, pun ia hantamkan ke bahu Viola yang mana langsung diusap-usap lembut. Khawatir putri tunggalnya kesakitan karena pukulan itu. "Sama Papa gitu banget! Nggak inget siapa yang selalu belain Pio dari kecil? Nggak inget siapa yang diem-diem beliin apapun yang Pio mau—tapi nggak dibolehin sama Mama? Nggak inget siapa yang selalu mau diajakin apapun pas Pio masih kayak bola-bola ubi? Gitu, ya, sekarang sama Papa yang sangat berjasa ini?"

Naughty NannyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang