30 | apapun yang terjadi (2)

2.6K 340 51
                                    

Baca bab 30 di sini setelah baca bab 29 dan 30 yang di Karyakarsa, ya. Karena urutannya begitu. Kalau baca ini langsung nanti hah-hoh-hah-hoh, hehehe.

Selamat membaca.

••

Chandra ingat sekali betapa kacau hari itu. Pagi menjelang siang di hari Rabu.

Gemetar suaranya tatkala meminta Sena dan Karina segera datang, lemas langkahnya kala ia berlari mendekati garis kuning polisi, air matanya yang jatuh kala jenazah teman baiknya, perempuan yang pernah ia titipi hatinya, dibawa ke dalam ambulans, Chandra tidak pernah merasa sekacau ini.

Perasaan menyesal, merasa bodoh dan tidak berguna, sedih, kehilangan, semuanya menyatu membuat dia merobohkan punggung pada tembok di belakangnya.

Seluruh warga di sana berbisik, bertanya-tanya ada apa, mengapa, sejak kapan, tapi tidak ada kejelasan sama sekali. Polisi hanya terus meminta menjauh dari garis kuning dan berhenti bertanya.

Sena dan Karina datang bersama kemudian. Kosongnya pikiran Chandra membuat ia tidak terpikirkan untuk bertanya mengapa bisa mereka sudah kembali akur, sementara terakhir kali Sena mengabarinya, laki-laki itu masih berstatus putus dari Karina.

Perempuan di belakang Sena turun tergesa dari motor, berlari mendekati Chandra dengan air mata tak berhenti jatuh. Wajahnya pucat pasi.

"Gue gak tahu," jawab Chandra seolah paham apa yang hendak ditanyakan. "Gue juga gak boleh masuk."

"Tapi di grup angkatan rame katanya bunuh diri," jelas Karina frustasi dan tidak percaya. Perempuan itu terisak membuat Sena menyeretnya mendekat dan minggir dari tengah jalan. "Kenapa gue gak tahu apa-apa?"

"Bukan saatnya nyalahin diri-sendiri, Rin."

"Itu mobil keluarganya Jijel bukan, sih?"

Mereka menoleh serempak pada mobil hitam yang dikendarai seorang sopir. Karina kenal betul dengan wajah orang tua teman baiknya, jadi dia mendekat.

"Tante..."

Mama Jijel itu mendekat memeluknya, menangis dengan tangan membelai. Mereka tidak sempat bertukar cerita apapun karena polisi mendekat. Entah apa yang kemudian dibicarakan orang-orang penting itu, tapi satu kalimat yang keluar dari bibir papa Jijel membuat Karina tidak bisa menahan diri untuk mengeluarkan protes.

"...tidak perlu dilakukan proses autopsi. Apa yang terjadi biar terjadi. Autopsi tidak akan mengembalikan nyawa anak saya. Langsung bawa jenazah ke rumah, kita makamkan segera."

"Om!"

"Rin!" Sena dan Chandra sontak panik ketika Karina maju dengan mata menyalang.

"Ini, tuh, janggal! Jijel gak pernah punya masalah—"

"Karina, tolong jangan ikit campur," mama Jijel menahan tubuh Karina untuk kembali mundur. "Biar kami yang selesaikan semua."

"Tante, tapi Jijel—"

Sena menarik Karina menjauh. Tahu bahwa orang tua Jijel terlihat tidak suka bagaimana mereka mendekat mendengar percakapan.

"Ayo, Rin."

"Sen!"

Chandra menahan napas tidak percaya. Semua orang menutup mata, bahkan orang tuanya. Berita simpang-siur membuatnya tidak bisa menebak apa yang sebetulnya terjadi di sini.

Grup angkatan mengatakan bahwa berita yang tersebar yakni Jijel meminum racun, sementara teman-teman kos Jijel yang sempat ia tanyai bilang bahwa polisi sempat mengatakan ada bekas tali di lehernya, tapi sekarang orang tua Jijel malah langsung menutup kasus. Apa-apaan ini?

Sena meneluk pundak Chandra membuat laki-laki itu menoleh.

"Kayaknya..." Sena mengecilkan suara. "Mereka minta tanpa autopsi biar gak jadi panjang."

"Gimana?"

"Bokapnya Jijel orang penting. Gue pernah denger dari nyokap katanya tuh orang lagi nyalonin diri—"

"Halah, bangsat. Itu anak dia sendiri! Gak ada cerita yang beginian langsung dibungkem!"

"Kecilin suara lo, anjing!"

Chandra mendengus membuang muka. "Kalau mereka beneran orang penting, harusnya mereka gunain privelege itu buat buka kasus selebar-lebarnya, biar clear kenapa bisa sampai begini."

Semuanya terasa janggal dan kepala Chandra mau pecah karena ia tak bisa berbuat apapun.

"Lo curiga Jendra gak, sih, Sen?"

"Dia masih dipenjara."

"Lo yakin?"

Sena mengangguk. "Terakhir gue update, dia masih di sana."

"Kapan? Terakhir yang lo denger itu kapan?"

Sena diam. Lupa. "Dua-tiga bulan yang lalu?"

Chandra berdecak tak puas. Ia memilih berjomgkok dengan rambut yang ia jambak sendiri. Tangannya berkeringat. Ia memandangi sekitar. Warga yang masih berkerumun, Karina yang terduduk lemas di bangku plastik, polisi dan keluarga Jijel yang masih berbincang serius, garis kuning di mana-mana, mobil polisi, mobil ambulans, Chandra tidak menyangka dia akan menjumpai hal seperti ini dalam hidupnya.

Sena memilih meninggalkan Chandra dan mendekati kekasihnya. Ia meraih tangan Karina untuk ia usap, lalu bergerak menyentuh bawah matanya untuk menghalau air mata yang siap kembali jatuh.

"Aku—aku ngerasa gak becus banget, Sen..."

Sena mengangguk paham. "Gak kamu doang. Aku sama Chandra juga mikir begitu. Tapi ini bukan waktunya buat nyalahin diri-sendiri."

"Jijel, tuh, gak mungkin bunuh diri. Dia gak pernah ada problem yang sampai bikin dia stres atau gimana."

"Keluarganya ke Jijel baik?"

Karina mengangguk dengan mata memandangi bagaimana ibu Jijel terus meneteskan air mata walau bibirnya terkatup menahan isakan. Ada suaminya di samping yang menatap kosong ke arah mobil ambulans.

"Dia disayang banget sama semua keluarganya. Sama semua orang," Karina mendongak menatap Sena yang berdiri menjulang. "Ini aneh banget, kan, Sen? Andaipun Jijel meninggal karena penyakitpun, harusnya diautopsi dulu, kan? Biar tahu. Jangan tiba-tiba ditutup begini."

Sena mengangguk setuju. Tapi ia pun tak tahu harus apa.

Merayu orang tua Jijel? Tidak mungkin.

Memutuskan untuk membawa kabur jenazah Jijel dan membawanya ke rumah sakit sendiri agar bisa diautopsi? Lebih tidak mungkin.

Apa ia harus membawa bala bantuan? Orang tuanya mungkin.

•••



author note:
hai. masih akan ada banyak plot twist ke depannya (ga deh, ga banyak-banyak amat). be ready dan tungguin, yah!

the plot twist.Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz