31 | urai

2.4K 374 120
                                    

baru sadar udah lama bgt ga update :( met baca semuanya!! semoga bisa sedikit mengobati rindu <3

ramaikan yaaaak!!
350 like dan 150 komen untuk next chapter!!

•••

Kematian Jijel yang dianggap janggal oleh orang-orang terdekat itu betulan dibungkam lekat. Tidak ada yang berani menyuarakan protes. Seolah nyawa manusia tidak ada harganya. Seolah seluruh dunia sepakat untuk tutup mulut tentang apapun yang terjadi pada gadis muda itu.

Pada hari pertama kematian, simpang-siur berita masih bisa terdengar telinga. Bunuh diri, minum racun. Pada hari kedua, berita yang bermunculan sudah beda lagi. Serangan jantung, kematian mendadak. Minggu pertama, Jijel sudah dilupakan orang-orang. Tidak ada lagi yang bertanya-tanya, aktivitas kembali seperti biasa.

Jika orang lain bisa begitu, maka tidak dengan Karina. Kehilangan sahabat terdekatnya tidak bisa ia anggap sepele. Ini masalah nyawa. Bukankah harusnya ada keadilan di sini?

Tapi usahanya untuk menyuarakan kejanggalan yang ada seolah tanpa pendukung. Pesan yang ia kirim pada orang tua Jijel tidak pernah ada balasan. Hal sekecil ia menyebarkan Menfess di Twitter melalui akun fakultasnya saja tak berhasil ia tembus. Seolah sudah dirancang sedemikian rupa agar tidak ada yang mengungkit-ungkit.

Sena memaksa Karina untuk pulang ke kosnya karena perempuan itu belum stabil, yang mana tidak diprotes oleh perempuan itu sendiri, karena Karina sadar persis dia betulan sedang tidak bisa menjaga kesehatan secara maksimal semenjak Jijel tiada.

Suasana tidak menyenangkan seperti ini berjalan hingga hampir tiga minggu sebelum kemudian situasi sedikit membaik. Perlahan, Karina mulai mau membuka mata bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan, apalagi melawan orang-orang berkuasa. Ia tidak tahu bagaimana akhir cerita sahabatnya yang mati tanpa keadilan ini, tapi ia mencoba mau menerima.

Sena memberi kecupan pada belakang kepala Karina ketika ia melewati gadis yang menunduk memandangi ponsel. Dilihatnya Karina berkutat menggulir layar membaca email masuk.

"Belum ada balesan lagi," keluh Karina lalu mendongak, menatap laki-laki yang menaruh gelas teh hangat di atas meja kemudian duduk di sampingnya. "Padahal aku optimis sama yang ini."

Stres yang dirasakan Karina belakangan bukan hanya seputar kematian sahabatnya, tetapi juga karena ia sudah mengirim surat lamaran ke berbagai tempat, tetapi hasilnya nihil.

"Apa CV yang aku bikin kurang bagus? Apa emang aku gak ada skill buat diterima di perusahaan mereka?"

"Yang bilang CV kamu jelek, tuh, matanya belekan, anjir. Orang experience dan achievement kamu selama S1 sebagus itu."

"Tapi hasilnya?"

"Belum rezeki," Sena merangkum pipi Karina dengan dua tangan besarnya, "nanti pasti dapet. Tapi bukan sekarang. Lagian kamu juga belum wisuda, kan?"

"Tapi aku pengin cepet kerja."

Sena mendengus. Diapitnya lebih kencang pipi perempuan itu lalu memberinya kecupan bertubi-tubi di bibir. "Sabar, Yang. Lagian itu artinya kamu disuruh bantuin aku ngerjain skripsi dulu."

"Dih."

Sena ketawa, dilepasnya Karina yang memberontak. "Beneran, kok."

"Makanya kamu yang rajin bimbingan! Tinggal bab 5 doang juga. Masa kalah sama Chandra yang minggu depan sidang?"

"Eh, gak boleh, ya, banding-bandingin cowok sendiri sama orang lain. Gigit nih."

"Itu ngasih kamu motivasi!"

the plot twist.Where stories live. Discover now