#5 Seine River

1.1K 70 0
                                    


Mandy's Diary at Junior Grade

Aku tidak percaya masih bisa hidup sampai sekarang. Oke, katakan ini berlebihan. Hari-hariku di sekolah semakin menyedihkan. Candice mulai menyibukkan diri bersama pacarnya yang seorang superstar sekolah sejak di tingkat sophomore. Kini kami memiliki jarak yang cukup jauh. Dia lebih banyak meluangkan waktunya dengan Trey daripada dengan sahabat sehidup sematinya.

Seperti yang telah kubayangkan sebelum ini. Sekarang aku duduk sendirian menikmati salad di atas bakiku, meneguk diet coke dan mengamati kebersamaan mereka berdua di bangku anak-anak populer. Tidak apa, aku baik-baik saja. Aku sungguh baik-baik saja tanpa si pirang tolol Candice Forbes, sahabat sejak kami masih di dalam box bayi. Aku benar-benar tidak apa. Jangan menangis, Mandy. Jangan menangis.

Shit, aku menangis.

Menarik napas dalam-dalam, aku meniggalkan meja kafetaria, meninggalkan makananku begitu saja tanpa terjamah sedikit pun. Meninggalkan Candice dengan Trey. Meninggalkan mereka hidup bahagia seperti di cerita-cerita. Mengabaikan tatapan Justin yang sekarang tidak menggugah semangatku. Meninggalkan realita. Meninggalkan dunia yang kejam.

Itu berlebihan.

Aku berjalan malas menghampiri loker siswi. Hampir kenaikan tingkat ke senior dan aku akan lulus, tapi hidupku masih seperti ini. Amat sangat menyedihkan. Andai saja aku punya tali gantungan, mungkin aku sudah berniat gantung diri di dalam kamar mandi. Lebih dramatis lagi kalau aku melakukannya dengan meninggalkan surat bunuh diri dan mengatakan pada Justin bahwa aku sangat tergila-gila padanya, sejak duduk di bangku sekolah dasar. Tapi, aku tidak mau mati konyol dulu. Masih belum. Selama Justin hidup, aku tak akan bunuh diri dengan cara konyol seperti itu. Siapa sangka kalau dia ternyata jodohku?

Malaikat di atas pundakku terbahak keras bersama iblis di pundak kiriku. Mereka mencemooh, mengatakan berulang kali bahwa apa yang terbersit di dalam pikiranku sudah pasti omong kosong. Impian yang tak akan pernah terjadi.

Aku meniup poniku ke atas, lalu membuka pintu lokerku mengambil buku-buku mata pelajaran selanjutnya. Di balik pintu loker itu, mataku menangkap selembar foto yang kutempel di sana. Fotoku bersama Candice. Inilah yang kubenci jika sahabatku punya pacar. Dia akan meninggalkanku dan lebih menyibukkan diri dengan pacarnya. Aku mengambil paksa foto itu, meninggalkan bekas selotip di sana, lantas meremasnya menjadi buntalan kecil sebelum kubuang ke belakang sembarangan.

"Aduh! Jangan buang sampah sembarangan!"

Telingaku refleks bergerak-gerak, menghapal pemilik suara seksi di belakangku sekarang. Aku menelan ludah dengan susah payah, lantas membalikkan badanku ke belakang dan mendapati Justin Bieber tengah mengusap dahinya.

"Astaga! Apakah aku melukaimu?!" teriakku histeris, menghambur ke arahnya dan melihat apakah dahinya berdarah karena lemparan kertas foto tadi. Iblis di atas pundakku menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap dramatisku.

Justin mengernyit, menahan tanganku yang hendak menyentuh dahinya. Ada sengatan listrik di kulitku begitu tangan kami bersentuhan. Rasanya cairan di lambungku naik sampai di kerongkongan, membuatku tersedak mendapatkan sentuhan darinya. Dia menyentuhku. Astaga, aku tak akan mencuci tanganku selamanya.

"Aku baik-baik saja," balasnya datar. "Lain kali, jangan buang sampah sembarangan. Kau merusak lingkungan, mengerti?"

Aku baru ingat dia menjabat sebagai Ketua Murid. Menanggapi peringatannya, aku menyembunyikan senyuman hambar dan mengusap tengkukku dengan telapak tangan. Dia melepaskan tanganku, membungkuk ke bawah dan memungut buntalan kertas di bawah kakinya. Tanpa menambahkan satu patah kata, Justin melenggang pergi meninggalkanku sendirian di depan loker siswi. Sampai di tingkat junior, dia tidak tahu namaku. Ini sedikit menggelikan karena aku berharap dia mengenalku, mengenal Mandy Gilbert. Jangankan mengenalku, mengetahui eksistensiku saja membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Confession Of Drama Queen (by Loveyta Chen)Where stories live. Discover now