#41 Broken

708 49 0
                                    

Justin's Diary Today


"Kau yakin tidak mau makan apapun?" Alison bertanya sekali lagi seraya menyodorkan lobster yang dipanggang temannya untukku.

Aku menggeleng, mendorong telapak tanganku di depannya sebagai penolakan. "Aku tidak mau makan. Please, berhenti menawarkan apapun."

"Kau belum makan apapun sejak pagi tadi." Dia meninggikan suaranya. "Bahkan saat aku makan, kau tidak ikut makan."

Karena aku tidak makan bersama istriku, Alison. Aku memilih untuk diam, memandangi lalu-lalang orang-orang di depanku. Sebagian dari mereka masuk ke dalam menyadari awan mendung semakin menggumpal dan memadat, siap menjatuhkan air hujan.

"Baiklah kalau begitu," Alison akhirnya mengalah. "Aku masuk saja."

"Aku menyusul belakangan."

Dia menghembuskan napas panjang. Kedua tangannya diangkat di udara tanda menyerah. Lalu melangkah kesal meninggalkanku menuju resort. Lagi-lagi ponselku berdering. Ini yang ke sekian kalinya benda keparat ini berdering atau bergetar dengan nama Grandma yang lebih mendominasi. Aku merogoh saku, mendapatkan ponsel untuk menengoknya. Display menunjukkan nama Grandma di sana. Menghembuskan napas panjang, aku memutuskan untuk menekan icon merah. Lantas, kukeluarkan simcardku dan mematahkannya menjadi dua sebelum kujatuhkan di bawah kaki.

Mungkin sebentar lagi dia akan menghubungiku di nomor lainnya. Setidaknya dia tidak menggangguku sementara waktu. Untuk saat ini saja selama aku butuh waktu berpikir.

"Aku perhatikan akhir-akhir ini kau banyak murung." Helena mengagetkanku dengan duduk di sebelahku tanpa permisi.

"Herannya, kenapa kau masih bersedia berbicara denganku sementara aku memanggilmu lesbian kemarin, hm?" Menoleh ke samping, aku memandangnya monoton. Dia tampak tak terlalu mempermasalahkan apa yang kuucapkan kemarin padanya.

Meringis pelan, Helena mendengus. Beberapa detik dia mengamati deburan ombak di depannya yang menggulung-gulung cepat dihembuskan angin. Lalu pandangannya beralih menuju ke arahku. "Aku tidak peduli pada itu. Ya... truth is hurt. Sudahlah, aku kemari bukan untuk mencacimu, tapi membedah otakmu yang sekarang terbalik." Dia mengetuk kepalaku cukup keras sampai membuatku menggerung kesakitan.

"Ow! Apa-apaan kau ini!" aku memekik, mengusap kepalaku yang diketuk olehnya.

"Baguslah kalau kau merasakan sakit. Itu artinya kau masih manusia. Bukan robot yang tidak bisa merasakan apapun." Sudut bibir Helena ditarik ke atas, membentuk seringai mengejek. "Kalau kuamati, ada yang kau sembunyikan. Benar?"

"Bukan urusanmu."

"Menjadi urusanku jika itu tidak baik." Dia mendesah pendek. Ditepuknya punggungku pelan dua kali. Rambut pirangnya terurai menyentuh pundak ketika dia memandangku. "Aku pernah berada di posisi Mandy. Disakiti pria itu tidak menyenangkan, percayalah padaku. Kau tidak memikirkan bagaimana perasaannya sekarang?" Bola matanya terputar ke atas, tampak menerka-nerka sesuatu. "Rasanya... seolah ada pengait di ulu hatimu dan seseorang menarik-ulurnya berkali-kali. Err... sakit sekali."

Aku mencerna ucapannya ke dalam otakku yang berhenti berpikir. "Ya, aku tahu."

"Kau tahu tapi kau diam saja?" Helena menggumam kesal. "Don't you even remember everything you had with her?"

"I remember everything I had. I love her. I really do. That's why I must do this."

"Do what?" nadanya naik dua oktaf.

Confession Of Drama Queen (by Loveyta Chen)Where stories live. Discover now