#29 Project

731 57 0
                                    

Mandy's Diary Today


Bagus. Sekarang Ian sudah mulai aktif kerja setelah beberapa waktu lenyap bak ditelan segitiga bermuda. Jadi, aku harus masuk kantornya untuk menyusun jadwal-jadwal atau semua yang kami tinggal. Ketika aku menginjakkan kakiku di lantai kantor, suara Candice adalah yang pertama kudengar, melengking tinggi sampai-sampai telingaku seperti ditusuk linggis.

"My baby!" dia berteriak lantang, lalu menghambur menghampiriku dan memelukku. "Maafkan aku tidak bisa memberikan perayaan apapun padamu kemarin." Melepaskan pelukannya, Candice menampilkan wajah sedihnya. "Kau tahu, kan? Banyak sekali pekerjaanku di sini, bahkan waktuku dengan Nik pun harus terpotong."

Pertama kalinya Candice melewatkan ulang tahunku. Meskipun hanya Justin yang memberiku kejutan, setidaknya aku senang. Kemarin adalah ulang tahun paling sepi yang pernah ada. Namun meskipun begitu, aku tak akan banyak protes kalau Justin saja sudah bisa memberikan kejutan manis untukku.

"Tidak apa. Santai saja." Aku menepuk bahunya berkali-kali melihat bibir mengerutnya seperti itu.

"Aku janji akan memberimu hadiah. Tapi tidak sekarang, oke? Aku belum sempat mencarinya." Candice mendesah frustrasi.

"Ya ampun, tidak ada hadiah pun aku senang, Candice. Yang penting adalah kau masih mengingat hari ulang tahunku."

Candice menggigit bibirnya di tengah senyum merekahnya. Sudut matanya lalu bergerak menuju perutku. Dia membelalakkan mata. "Ah! Aku benar-benar tidak menyangka akan secepat ini menjadi bibi! Apakah wajahku sudah tua?" Dia bertepuk tangan seperti anak kecil yang baru dibelikan permen.

Aku menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Candice. "Kau mungkin akan menjadi bibi tercantik yang pernah ada."

Hidungnya dikernyitkan gemas. Dia menggamit lenganku setelah itu. Kami berjalan bersama menuju lantai tempat kami bekerja. Tak henti-hentinya dia membicarakan mengenai gaun yang dibelikan Nik padanya; dia bilang gaun itu semakin membuatnya seperti seorang putri sungguhan. Hell, dia memang sudah menjadi seorang putri hanya karena berkencan dengan seorang pangeran Inggris. Bukankah impiannya menikahi pangeran impiannya akan terwujud? Kecuali kalau Ratu Elizabeth tak menerimanya seperti saat pangeran Charles menikahi Lady Diana. Aku harap tidak ada Lady Diana II. Meskipun Candice sahabat paling tolol yang pernah kumiliki, aku mendoakan agar dia dan Nik berbahagia menjadi pasangan suami-istri seperti pangeran William dan Kate Middleton. Hidup memang dipenuhi dengan kapitalisme. Tidak usah jauh-jauh melihat dari sisi hubungan Candice dan Nik. Lihat saja hubunganku dengan Justin. Neneknya tak akan menganggapku cucu menantunya—bagian dari keluarga besar Bieber—kalau aku belum memberinya cicit laki-laki sebagai penerus Justin nantinya. Dasar orang-orang kapitalis.

Begitu aku sampai di kantor Ian, bos tampan—namun gay—ku itu menyambutku dengan senyuman merekah yang ramah. Dia duduk tegak di kursinya dengan telapak tangan dilipat di atas meja. Hari ini dia kelihatan tampan dengan jas hitam yang menyembunyikan kemeja putih serta dasi panjangnya.

"Selamat pagi, Mandy," sapanya seraya menggeser penanya yang miring sedikit di samping tangannya.

"Hai, selamat pagi, Ian." Aku menyunggingkan senyuman lebar untuknya, lantas duduk di depan komputer setelah meletakkan tasku di atas meja. Setidaknya masih ada yang bisa kukerjakan setelah belakangan ini aku sering menganggur.

"Ada yang ingin kubicarakan padamu. Mendekatlah." Ian menggerakkan jari-jarinya menyuruhku menghampirinya.

Mengedikkan bahu, aku beranjak dari tempat dudukku mendekati mejanya. Dia mempersilakan aku duduk dengan gaya formal seperti biasa. Mata kami saling bertubrukan sebentar. Aku dapat melihat bayanganku yang terpantul di mata abu-abunya yang cemerlang. Astaga, aku seperti Anastasia yang dihadapkan oleh Mr. Grey kalau begini. Sayangnya, Mr. Greyku ini gay. Menyebalkan tidak, sih?

Confession Of Drama Queen (by Loveyta Chen)Where stories live. Discover now