#7 Nostalgia

1K 63 0
                                    

Mandy's Diary At Senior Grade

Kami tidak lagi saling bersapa. Bahkan aku memalingkan wajahku tiap bertemu dengan Justin, pura-pura tidak mengenalinya. Biar dia tahu bagaimana rasanya diabaikan dan dianggap tidak ada! Tunggu, untuk apa aku melakukan itu? Toh dia tidak akan peduli pada eksistensiku.

Demi saus tartar.

Aku berjalan cepat menuju parkiran sekolah menghampiri Candice yang sudah menungguku di mobilnya. Tanpa sengaja, aku menoleh ke sebuah arah, tepat di mana Justin berdiri bersama kawan-kawannya dan dia memandangku dari tempatnya. Aku memalingkan muka, enggan membalas tatapannya, lantas berjalan lebih cepat, secepat yang kubisa meninggalkan halaman sekolah. Iblis di atas pundakku membuatku muak pada Justin, namun si malaikat justru menyuruhku memaafkannya karena aku masih menaruh banyak harapan dan perasaan padanya. Menyukai seseorang yang menyebutmu aneh tidaklah mudah. Batinku sakit, sungguh.

Buku-buku dalam dekapanku terjatuh, menyadarkanku dari lamunan. Aku memungut buku-buku yang berceceran di bawah, mengumpulkannya menjadi satu sebelum kutarik ke dalam dekapanku dan berdiri. Belum sampai aku menarik napas, sebuah suara teriakan terdengar di belakangku, bersamaan ketika seseorang mendorongku menjauhi tempat itu, membuatku bergulungan di samping jalan dan mendapatkan nyeri pada sebagian tubuhku.

"Dasar bodoh! Lihat-lihat kalau mengemudi!"

Aku menengadah, melihat Justin berdiri memaki-maki pada sebuah arah saat sebuah mobil melaju dalam kecepatan tinggi meninggalkan halaman. Itu mobil Rebekah. Sialan, cewek palsu ini berusaha membunuhku! Aku bisa melaporkannya pada polisi dan menahannya, tapi malaikat di atas pundakku menggelengkan kepala, menyuruhku untuk memaafkannya.

Memaafkannya? Bagaimana aku bisa memaafkannya kalau tingkahnya kurang ajar dan membahayakan seperti itu?!

Kutepuk tanganku yang dipenuhi debu berulang kali, meringis kesakitan melihat pergelangan tanganku yang memar. Menahan rasa sakit itu, aku menggigit bibir, meringis pelan. Justin membungkuk di depanku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia membantuku mengumpulkan buku-bukuku lagi, menyerahkannya padaku dan kuterima secara kasar. Kalau dia memang merasa bersalah, seharusnya dia minta maaf telah menghinaku!

"Maafkan aku soal waktu itu."

Oh, dia minta maaf, Lantas, apa yang harus kulakukan sekarang? Iblis di atas pundakku berbisik pelan agar tidak secepat itu luluh di tangannya. Dia bilang aku tidak boleh menjadi terlalu lunak seperti kebanyakan cewek-cewek penggemarnya. Dia sudah menghinaku, aku tak akan semudah itu memaafkannya. Meskipun wajah tampannya selalu menggoda imanku dan menyuruhku memaafkannya. Brengsek, mengapa dia selalu melakukan itu padaku? Aku tidak tega mengabaikannya, sungguh.

"Helo, Mandy, dia mengabaikanmu sepanjang eksistensimu," iblis di atas pundakku mendengus pelan, mengetukkan tongkatnya pada kepalaku.

Benar. Dia mengabaikan eksistensiku, untuk apa aku memedulikannya? Biar ini menjadi pelajaran untuknya.

"Oh," pada akhirnya aku membalas ketus dengan satu kata. Oh. Hanya 'Oh' yang kuberikan padanya.

"Aku tahu kau marah." Desahan frustrasi Justin terdnegar begitu menyesal. "Aku hanya... kau tahu, aku adalah salah satu murid terpandang di sini, dan mereka membicarakanku hanya karena mengajakmu pergi berdua..."

"Kalau begitu, lain kali jangan pernah mengajakku pergi, berbicara denganku, bahkan mengenalku," sengalku sarkastis, lalu segera beranjak berdiri dan menepuk jinsku. Ada robek di bagian lututnya, menampakkan kulit lututku yang untung saja tidak terluka.

Confession Of Drama Queen (by Loveyta Chen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang