#24 Nanny Mandy

821 56 0
                                    

Mandy's Diary Today

Aku menekan leherku yang kaku dan memiringkan kepalaku ketika kututup pintu rumah ini cukup pelan. Rumah dalam keadaan sepi dan gelap. Namun di garasi, mobil Justin sudah terparkir di tempatnya biasa. Kepalaku terangkat ke atas, menuju balkon tangga lantai dua begitu melangkah kembali. Aku clingukan ke kanan-kiri. Rumah ini nyaris seperti kuburan, serius. Mungkin karena atmosfernya yang sangat berubah drastis semenjak Justin marah padaku.

Bibirku mencebik lagi ke bawah mengingat-ingat hal itu. Aku menghembuskan napas pendek, lantas menaiki barisan anak tangga menuju kamar. Meski begitu, tentu aku tidak banyak berharap kalau dia menyapaku—atau bahkan tidur di kamar kami. Aku belum berani bertatap muka dengannya. Aku tidak mau melihat ekspresi murkanya.

Namun saat tanganku menyentuh tombol lampu dan menghidupkannya, aku melihat jas yang sudah ditanggalkan di kursi dan mendengar bunyi air shower dihidupkan. Sejenak, kedua alisku menyatu. Berbagai persepsi mengalir di dalam kepalaku. Tapi iblis di atas pundakku mengingatkanku untuk tidak terlalu banyak berharap. Watak Justin sangat keras kalau dia sudah marah. Dan membuatnya melupakan kemarahannya amat sangat susah.

Aku masih teringat apa yang dilakukannya sewaktu SMA hanya demi membelaku. Seperti menghajar Billy, memberi perhitungan Rebekah, dan mengancam seluruh siswa-siswi SMU Jordan untuk tidak lagi menggangguku. Tatapannya sangat garang, selalu begitu, terlebih gestur tubuhnya maupun nada gusar yang digunakannya untuk mengancam mereka.

Dulu, hampir saja persahabatannya dengan Trey hancur gara-gara insiden narkoba di dalam lokerku itu, kalau saja Chaz dan Ryan tidak mati-matian mendinginkan kepalanya dan membuat mereka berdamai.

Aku melepas blazerku, kemudian menggantungnya di tempat gantungan bersama dengan jas Justin. Sudut mataku melirik jam dinding di kamar yang sudah menunjuk angka sembilan. Tidak seharusnya aku pulang semalam ini padahal pekerjaanku sudah selesai lantaran Ian pulang lebih awal. Seharian itu aku meminta George untuk menemaniku. Kami menghabiskan banyak watu, setidaknya berhasil membuatku melupakan sejenak masalah di sini.

Saat aku menghela napas panjang melalui mulutku, tubuhku seperti disengat oleh lebah begitu merasakan pelukan hangat dari belakang dan dagu yang dibenamkan di atas pundakku.

"Hai."

Bola mataku masih melebar mendengar suara yang benar-benar tidak asing di kepalaku. Sudut-sudut bibirku tertarik ke atas, membentuk senyuman kecil mendapatkan pelukan dan sapaan seperti biasa dari Justin. Tandanya kemarahannya sudah mereda. Lihat, sekarang dia memelukku dari belakang. Juga menyapa dengan nada setengah berbisiknya yang seksi. Dan ditambah dia mencium pipiku, membuatku menoleh ke belakang dengan tatapan tanya.

"Bukankah kau masih marah?" tanyaku takut-takut.

Pemandangan yang memenuhi mataku adalah sepasang iris mata hazel miliknya, juga senyum manis madu yang diumbar bibirnya. Tatapan intens yang sebelum ini lenyap dan digantikan oleh keberadaan tatapan murkanya telah kembali lagi, semakin membuat kepala dan hatiku mendadak dingin.

"Sorry," katanya lagi, kemudian memajukan kepalanya dan mencium hidungku. "Maaf atas bentakanku kemarin malam. Juga... sikap dinginku tadi pagi. Aku hanya memerlukan waktu untuk mendinginkan kepalaku."

Senyumku merekah. Kuputar badanku menghadap ke aranya, lantas menyentuh kedua pipinya dengan telapak tanganku dan mengusapnya lembut. Aku memajukan badanku, membuat hidung kami bersentuhan.

"Kau tidak marah lagi?"

Dia menggeleng. "Tidak. Tidak lagi."

Thank God. Ada kelegaan yang mengalir dalam darahku begitu mendengar kalimatnya itu. Lagi-lagi senyumku merekah memenuhi wajahku tanpa kualihkan pandanganku darinya. Kedua tangannya merengkuh wajahku, memandangku dengan tatapan penuh cinta disertai maaf. Tentu saja aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan telah mendapatkan maafnya, meskipun sebagian diriku mengingat-ingat apa saja yang terjadi kemarin malam. Tentang kertas itu, bentakannya, kemarahannya, kekecewaannya, dan sekarang semua itu lenyap.

Confession Of Drama Queen (by Loveyta Chen)Where stories live. Discover now