#9 Handsome Big Boss

922 53 1
                                    

Mandy's Diary at Senior Grade

Rasanya aku ingin meleleh. Aku ingin meleleh seperti lilin sampai menyisakan sumbunya. Wajahku memerah tiap mengingat pembelaan Justin, bahkan pelukan hangatnya masih terasa jelas sampai detik sini. Bibirku melengkung membentuk senyuman tiap mengingat-ingat kejadian malam lalu. Aku bergulingan di atas ranjang, memeluk bantalku erat-erat, dan meredam teriakanku di sana menumpahkan ekspresi gilaku. Aku rasa, aku sudah gila! Aku memang gila sekarang. Dan penyebab kegilaanku adalah Justin.

Justin, cowok yang kusuka sejak masih kecil.

Lagi-lagi aku membenamkan wajahku pada bantal, berseru sejadi-jadinya. Malaikat dan iblis di atas pundakku ikut berbahagia denganku, saling mengaitkan tangan mereka satu sama lain, melompat-lompat riang, dan berhenti ketika Mom masuk ke dalam kamarku sambil menyilangkan tangan di depan dada.

"What are you doing, Mandy?" tanyanya skeptis.

Aku menyengir kuda, menggelengkan kepala enggan bercerita padanya tentang apa yang terjadi kemarin malam. "Nothing, Mom."

"Ada yang mencarimu di luar," dia melanjutkan. Matanya memicing, sedikit membuat perutku bergolak tidak karuan. "Anak laki-laki. Pacarmu?"

Bola mataku terputar ke atas, berpikir anak laki-laki mana yang dimaksud Mom. Aku tidak punya teman laki-laki. Kecuali... Justin, tentu saja. Buru-buru aku melompat dari atas ranjang, menerobos pundak Mom hingga membuatnya terhuyung dan berseru menyebut namaku keras. Aku menuruni dua anak tangga sekaligus, melangkah riang, dan berhenti di ruang tamu dengan cairan lambung yang seolah naik ke atas kerongkongan melihat Justin duduk manis mengetukkan jari-jemarinya pada sandaran sofa.

Demi pantat gajah, dia datang kemari. Dia datang kemari. Lagi! Aku menyelipkan rambutku ke belakang telinga, sedangkan dia memosisikan diri dengan duduk lebih santai dan mengumbar senyum manis madunya.

"Hai, Mandy," sapanya.

"H-hai... tidak biasa kau datang kemari..." Aku mengerjapkan mataku rikuh.

"Kenapa? Tidak boleh?" Sebelah alisnya terangkat.

Aku mengambil tempat duduk di depannya, lantas menyilangkan tungkaiku dan mencoba duduk seperti seorang bangsawan. Aku yakin apa yang kulakukan justru seperti robot yang dikomando oleh remot kontrol.

"Aku merasa tersanjung, serius."

"Hanya memastikan kau baik-baik saja." Dia memajukan tubuhnya seraya menyandarkan tangannya pada paha. "Tentang malam lalu, jangan dipikirkan lagi. Aku akan memberi pelajaran pada Bill hari Senin nanti."

Dia? Memberi pelajaran pada Bill hanya untuk membelaku? Tenggelamkan aku di Samudra Hindia. Aku tak bisa merasakan napasku sendiri, bahkan rasanya detak jantungku seperti sesuatu yang semu, yang membuatku tertegun selama beberapa saat lantaran terkejut.

"Oh—wow. Tidak perlu. Biarkan saja." Lagi-lagi aku memberinya senyuman manis.

"You're too sweet, Mandy." Dia menepuk pahanya satu kali, membuatku mengedipkan mata terkejut. "Selain itu, aku kemari untuk meminjam catatan Trigonometrimu. Boleh?"

Menggigit bibir bawahku, aku menganggukkan kepala. Malaikat di atas pundakku bertepuk tangan riang. Aku beranjak berdiri, "Aku akan mengambilkannya untukmu."

"Sure, thanks, Mandy."

Menyembunyikan rona merah di pipiku, aku segera membalikkan badan dan mengernyitkan hidungku, berteriak dalam hati berkali-kali. Entahlah, aku tidak bisa memastikan seperti apakah ekspresiku sekarang. Bisa-bisa aku mati kehabisan napas kalau terus-menerus begini.

Confession Of Drama Queen (by Loveyta Chen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang