#16 Believe In Love

720 58 0
                                    

Mandy's Diary At Senior Grade

Seperti yang kubayangkan, makan malam keluarga besar ini nama lain dari penyidangan. Aku duduk bersama seluruh keluarga besar Bieber dengan Grandma Mag yang mendominasi perbincangan keluarga daripada Grandpa Leonard. Kalau boleh membandingkan, Grandpa Leonard dan Grandma Mag bagaikan air dan api. Mereka saling bertentangan. Grandpa Leonard lebih tenang, ramah, bahkan ketika berbicara denganku, dia seperti berbicara dengan cucunya yang lain. Aku penasaran, bagaimana bisa Grandpa Leo menaklukkan makhluk buas seperti Grandma Mag sewaktu muda dulu.

"Orangtuamu bekerja sebagai apa, Mandy?"

Perutku seperti disodok oleh tongkat billiard mendengar pertanyaan Grandma Mag bernada skeptis itu. Aku melirik Justin sebentar meminta pembelaan. Dia mengangguk samar, menyentuh telapak tanganku yang kupangku. Tangannya yang hangat sanggup meredakan kegugupanku dihadapkan oleh banyak sosialita seperti mereka.

Aku menelan ludah dengan susah payah sebelum membalas ringan, "Ayahku bekerja sebagai dokter gigi dan ibuku konsultan pernikahan."

"Oh." Grandma Mag menegakkan dagunya, mengelus dagu runcingnya dengan jari-jari keriputnya. Aku bisa merasakan adanya tonjokan kuat di perutku melihat tatapan mengintimidasinya. "Kau punya cita-cita?"

"Ya." Aku mengangguk-anggukkan kepalaku mencoba untuk tenang. "Sebagai editor."

"Editor?" Sebelah alis tebal nenek sihir itu ditarik curiga. "Kenapa tidak mencoba menjadi wanita karir atau semacamnya?"

"Editor majalah terbesar di Long Beach, maksudku," buru-buru aku membenarkan.

"Lumayan." Grandma Mag mengambil serbet di dekatnya, lalu menyeka mulutnya sebelum melanjutkan, "Punya hobi?"

Berdehem kecil, aku menggeser pantatku di atas kursi. Entah ini hanya delusiku atau kursi ini berubah menjadi panas? Rasanya pantatku seperti dibakar di atas kompor. Aku harap, bukan si iblis yang melakukannya.

"Aku suka membaca, menulis, melukis—tapi jarang melakukannya lagi—dan juga...melihat pertunjukan teater atau musik."

"Kau bisa berkuda?" Dia meraih segelas wine dan menyesapnya sebentar.

"Uhm..." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Aku sedikit trauma dengan berkuda."

"Oh."

Hanya OH? Aku tidak yakin dia berperikemanusiaan.

"Kau pernah jatuh?"

Kepalaku tersentak kaget mendengar pertanyaan bernada prihatin yang keluar dari mulut Grandpa Leo. Aku mengerjapkan mataku, memastikan bahwa aku tidak tuli atau terkena sedikit gangguan.

"Erm... dulu." Kuanggukkan kepalaku, menyelipkan senyuman kecil.

Grandpa Leo meletakkan gelas beningnya, melipat tangan membentuk kepalan dan menopang dagunya. Kepalanya diteleng ke satu sisi seakan-akan tengah mengamatiku dengan saksama. Entah kenapa, aku merasakan aliran hangat yang nyaman melihat tatapannya. Dia punya tatapan sama seperti Justin—yang meyakiniku bahwa Justin memang sepenuhnya mewarisi tatapan teduh dan hangat dari kakeknya.

"Tidak mengalami cedera? Jatuh saat berkuda adalah sesuatu yang mengerikan. Dulu, aku pernah mengalaminya, namun hal itu tidak menyurutkan hobiku dalam berkuda. Justru aku tertantang melanjutkannya lagi. Melakukan sesuatu yang membuatmu trauma bisa mengatasi ketakutanmu sendiri." Grandpa Leo tersenyum padaku, membuat bibirku refleks bergetar membentuk lengkungan lebar. Aku menoleh ke samping, memberikan kalimat 'aku suka kakekmu' melalui pandanganku. Membalas ucapan tak lisanku, Justin menggerakkan kepalanya ke samping.

Confession Of Drama Queen (by Loveyta Chen)Where stories live. Discover now