#18 What The F Fact

819 58 0
                                    

Justin's Diary At Senior Grade

Mandy berlari pergi meninggalkan rumahku sementara aku masih berdiri melihatnya menjauh dan mendengus perlahan. Dia selalu bertingkah seperti anak kecil. Pikirannya sulit untuk ditebak kalau sudah seperti itu.

Kususupkan jari-jemariku pada helaian rambut, menggenggamnya beberapa helai dan mendesah pelan. Akan kubiarkan dia menenangkan dirinya dan berpikir lagi untuk yang ke sekian kalinya dan introspeksi.

"Justin, kenapa kau tidak mengejarnya?"

Dari arah belakang aku mendengar suara Alison. Sebelah alisnya terangkat ke atas. Aku menggeleng perlahan. Bercerita pada Alison bukan solusi yang baik. Tapi pikiranku mengatakan bahwa dia satu-satunya yang bisa membantuku, sebab dia dan Mandy sama-sama seorang perempuan. Mungkin Alison lebih mengerti perasaan Mandy.

"Justin," belum juga kujawab, Alison menepuk pundakku satu kali, "saat seorang gadis berlari meninggalkan kekasihnya dan menangis, maka kejarlah dan minta maaf."

"Minta maaf?" ulangku, tidak mengerti.

"Ya. Bersalah atau tidak, kau harus minta maaf. Perempuan lebih suka mendengar laki-laki yang mengalah dan meminta maaf daripada sebaliknya." Alison menganggukkan kepalanya.

Tangannya yang masih berada di atas pundakku berpindah pada bahuku, lalu dia mengelusnya lembut. Dia selalu memberiku solusi, bahkan memahami diriku lebih dari siapapun. Mungkin karena kami sudah bersahabat sejak kecil jadi dia mudah memahamiku daripada orang lain. Dan aku tidak menyesal memutuskan hubunganku dengannya, sebab jika kupikir, kami lebih cocok menjadi sahabat daripada yang lebih. Seperti yang pernah dikatakannya padaku dulu.

"Trims, Ali," kataku, mengelus telapak tangannya dan tersenyum kecil.

***

Mandy's Diary At Senior Grade

Dari arah belakang aku mendengar sayup-sayup suara Justin yang berseru memanggil namaku. Aku hanya berdiam diri di balik lumbung padi, duduk meringkuk memeluk lututku tanpa mengalihkan perhatianku dari para penggembala di depan sana.

Ekor mataku melirik ke samping bersamaan—setelah malaikat di atas pundakku berbisik pelan ada yang datang—dan menemukan sepatu supra Justin yang menginjak rerumputan.

Aku melengos lagi, lebih senang mendaratkan perhatian pada sekumpulan kuda di lapangan lainnya daripada melihat wajahnya, walaupun hatiku mencoba berlari untuk saling bersentuhan dengan pasangannya. Aku mengerucutkan bibir miring mendengar dia menyebut namaku lagi.

"Mandy, aku minta maaf. Ayo kembali ke rumahku," bujuknya. Sekarang dia maju lebih mendekat untuk menyentuh pundakku.

Dengan kasar aku menepisnya dan bergeser lebih jauh begitu dia duduk di sebelahku.

"Oke, aku tahu aku salah," katanya sambil melongok ke samping. "Aku tidak bisa mengerti perasaanmu. Aku pacar yang tidak peka... terserah kau mau menyebutku apa." Lagi-lagi dia melongok lebih ke samping sementara aku memalingkan wajahku darinya.

"Aku mau pulang sekarang. Dengan atau tanpa kau," kataku ketus, lantas beranjak dari tempatku duduk dan melenggang pergi.

Di belakangku, Justin membalas ancamanku dengan nada tinggi, "Memangnya kau tahu jalan pulang?"

Spontan aku berhenti. Dia-memang-menyebalkan. Tapi ada benarnya juga. Aku memutar bola mata kesal tidak tahu arah jalan pulang. Jangankan ke bandara, keluar dari tempat yang dikelilingi ladang seperti ini saja aku tidak bisa. Kupasang wajah baik-baik saja—meskipun pada dasarnya aku tetap tidak baik-baik saja. Berbalik badan, aku melipat tangan di depan dada, menegakkan daguku memberikan sikap angkuh seperti pemain-pemain antagonis di setiap film yang kutonton.

Confession Of Drama Queen (by Loveyta Chen)Where stories live. Discover now